Tuesday, May 3, 2011

Kekacauan Moralitas Menumbuhkan Semangat Kemiskinan Nasional

Oleh : Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro

Guru Besar Emeritus Sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB)

Indonesia sejak zaman dahulu dikenal dengan kekayaan alam yang berlimpah. Kedatangan bangsa Eropa pada awal abad pertengahan untuk berburu rempah-rempah dan hasil bumi merupakan salah satu buktinya. Bahkan, beberapa negara Eropa tidak sekadar berdagang tetapi juga menjajah negeri ini. Tujuannya jelas, yakni untuk mendapatkan hasil bumi dan kekayaan alam dengan cuma-cuma bagi kemakmuran mereka sendiri.
Setelah berhasil melepaskan diri dari penjajahan, sumber daya alam (SDA) tersebut seharusnya membuat bangsa Indonesia sejahtera. Pada kenyataannya, negeri yang digambarkan sebagai zamrud khatulistiwa ini belum berhasil mengangkat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Lebih dari setengah abad merdeka, justru terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin. Media massa hampir setiap hari mengabarkan bagaimana si miskin tertatih-tatih mencari sesuap nasi untuk hari ini di tengah glamour kehidupan si kaya. 


“Kekacauan yang terjadi sekarang, menurut saya adalah terjadinya pergeseran budaya dan pemikiran. Karena yang terjadi di masyarakat, modal dasar kita adalah sumber daya alam sementara modal pemikiran adalah adat dan Islam. Tetapi akibat modernisasi membawa individu menyimpang dari kebersamaan sehingga terjadi pacu individualisme. Tidak heran tumbuh NII, karena memang tatanan masyarakat sekarang ini sudah kacau akibat kekacauan moralitas. Saya memang tidak membenarkan tetapi secara sosiologis bisa menjelaskan kenapa semua itu terjadi,” kata Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro, Guru Besar Emeritus Sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB).


Padahal, lanjut mantan anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) ini, kemerdekaan republik ini diperjuangkan dengan keringat, darah dan nyawa bangsa Indonesia. Tidak selayaknya, pemerintah membiarkan rakyat menderita dalam kemiskinan dan tidak berhak menikmati kesejahteraan sebagai berkah kemerdekaan.
Dalam pandangannya sebagai sosiolog, Prof. Tjondro melihat bangsa Indonesia tidak pandai dalam memanfaatkan luasnya wilayah yang dimiliki. Ia mencontohkan, 4 juta hektar lahan yang ditanami kelapa sawit dikuasai oleh pengusaha asal Malaysia. Parahnya lagi, mereka mengolah kepala sawit hasil panen dari Indonesia di negerinya sehingga Malaysia menjadi penghasil CPO (crude palm oil) nomor wahid di dunia. 


“Malaysia memang memiliki teknologi yang baik dalam pengembangan kelapa sawit. Itu yang membuat hasil produksi perkebunan kelapa sawit mereka sangat bagus. Sementara petani kita yang kurang pengetahuan merawat kebunnya sekadarnya saja sehingga hasilnya pun tidak maksimal. Belum lagi, luas lahan 60 persen petani sekarang hanya kebagian 0,5 hektar dan 20 persen di antaranya bahkan tidak memiliki tanah pertanian. Idealnya, seperti yang telah disepakati oleh founding fathers kita tahun 60-an, UUP Agraria 1960. Salah satu peraturannya di seluruh Indonesia ada perimbangan jumlah penduduk dengan luas tanah yang bisa dikuasainya. Di Jawa minimal 2 hektar dan maksimal 5 hektar per KK dan berlaku untuk siapapun,” ujar Ketua Dewan Penyantun Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta ini (Ref. UU No.56/1960).


Prof. Tjondro sangat mengkhawatirkan ketersediaan stok beras nasional akan senasib dengan impor gandum yang mencapai 90 juta ton. Bulog sebagai punggawa dan penjaga ketersediaan beras nasional, harus melakukan impor beras. Stok beras nasional semakin menipis tanpa adanya penambahan cadangan bahan pangan yang memadai. Semua masalah tersebut, timbul karena petani tidak memiliki lahan pertanian yang memadai. “Tetapi, kalau menuntut tanah akan dikatakan ditunggangi PKI atau BTI. Intinya karena kekurangan tanah garapan, ketahanan pangan juga kurang. Sekarang bahkan malah ada sawah yang ditanami komoditas lain seperti mangga dan bukan padi. Saya tidak melarang orang menanam apa saja, tetapi kalau pemerintah ingin mempertahankan ketahanan pangan, lahan persawahan atau pertanian harus terus dipelihara,” ungkap mantan Ketua Umum Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) ini. 


Prof. Tjondro yang mengalami sendiri zaman sulit penuh tantangan dan kekurangan rupanya mempengaruhi perhatian dan jalan pikirannya. Riwayat kerja di luar universitas menunjukkan hal itu. Sebagai konsultan Social Development  Division, UNO Bangkok, menulis “Social Survey of The Region” untuk Asian Development Bank Manila, mengenai Kemiskinan, untuk Bank Dunia juga tentang Agraria dan Kemiskinan serta PNPM. 
Disiplin Kurang
Menurut Prof. Tjondro, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara sistem pendidikan dahulu dengan sekarang. Pendidikan di zaman dahulu mengkader calon pendidik dengan sangat baik. Para calon guru melalui pendidikan khusus sejak awal sehingga terbentuk karakter kuat sebagai pendidik yang tidak sekadar mengajar. Sementara sekarang, seorang guru tidak harus memiliki latar belakang profesi yang sesuai untuk pendidikan.
“Saya tidak bisa membandingkan, yang jelas mereka harus menjaga kualitasnya. Kalau saya lihat anak dan cucu saya sekarang, sepertinya mereka kurang disiplin. Sekarang rasanya tidak ada keteraturan, ketertiban dan kedisiplinan. Kalau mengenai isi saya tidak dapat membandingkan karena hanya sekadar dengar saja. Dahulu guru-guru keluaran pendidikan khusus, Kweek School yang merupakan program mendidik dan membina untuk menjadi guru. Sekarang saya tidak tahu, guru kadang tidak memiliki latar belakang yang sesuai untuk pendidikan,” ujarnya. 


Prof. Sediono MP Tjondronegoro mengisahkan perjalanan pendidikannya di zaman kolonial Belanda dan Jepang. Sekolah dasar atau Europesche Lagere School dilalui pada zaman Belanda di Rembang, Purwokerto dan Tegal mengikuti tugas sang ayah. Tidak heran, ia menguasai bahasa Belanda yang digunakan sebagai bahasa utama di sekolah dasar. Sebelum PD II meletus, ia menempuh pendidikan Hogere Burgershool (HBS) di Malang. Namun, ketika Jepang masuk dan menguasai Indonesia tahun 1942, semua sekolah ditutup. 


“Dari Malang, saya kemudian masuk sekolah SMP Jepang di Prapatan, Jakarta. Berbeda dengan sekolah Belanda, sekolah Jepang ditambah dengan pelatihan militer yang dilaksanakan di Lapangan Merdeka atau Monas sekarang. Saat tempat pemondokan selama di Jakarta, yakni oom saya pindah ke Surabaya tahun 1943, saya juga mengikutinya. Karena di Jakarta saya adalah komandan regu Gakutotai, maka di SMP Ketabang Surabaya juga menjadi komandan pada kesatuan militer tingkat SMP tersebut,” kenangnya.
Saat di Surabaya, isu-isu kekalahan militer Jepang mulai santer terdengar di Indonesia. Informasi yang didapat kaum pergerakan rahasia sosialis dibawah Syahrir, Sudjatmoko, Sudarpo dan lain-lain, dengan cepat menyebar di kalangan generasi muda. Para pejuang pergerakan berpaham sosialis tersebut dengan gigih mendekati pasukan pelajar untuk sewaktu-waktu bergabung dalam perjuangan. Setidaknya, dengan merangkul pasukan pelajar akan menambah kekuatan perjuangan terkait minimnya pejuang dengan kekuatan militer di kalangan rakyat Indonesia. 


Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Soekarno – Hatta, Prof. Tjondro bergabung dengan BKR, TKR Pelajar dan TRIP (1945) sebagai Komandan Peleton di Surabaya. Ia terlibat dalam pertempuran di Jembatan Merah Surabaya, tanggal 10 November 1945 menghadapi batalyon Gurkha, tentara Inggris hingga terbunuhnya Jenderal Mallaby. Terbunuhnya salah satu petingginya tersebut membuat tentara Sekutu mengamuk dan membombardir pasukan RI. 


Tentara TKR dan TRIP perlahan-lahan mulai terdesak serta mundur dari Surabaya, menuju Sidoarjo dan Mojokerto. Dalam sebuah pertempuran sengit, Prof. Tjondro tertermbak dan dirawat di rumah sakit Gatul, Mojokerto. Luka-luka yang diakibatkan tembakan membuat tangannya cacat permanen. Direktur rumah sakit tersebut adalah keluarga pejuang dari Aceh, Dr. Syarif Thayib yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan RI.
Setelah sembuh, Prof. Tjondro hanya membantu pasukan di garis belakang. Memasuki tahun 1948, ia dibebastugaskan dari TRIP agar bisa kembali ke bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta.  Situasi dan kondisi keamanan yang masih bergolak membuat sekolahnya menjadi “unik”. Di mana pada masa tersebut, ada larangan untuk berkumpul dengan jumlah lebih dari lima orang. Tidak heran, saat itu sekolahnya terpencar-pencar dalam kelompok lima orang akibat Belanda menyatakan keadaan darurat, SOB (Darurat Militer).
“Karena kami sekolah ‘gelap’ sehingga ujian dikirim dari Solo. Setelah itu saya berusaha mencari kerja dan tidak pernah memimpikan untuk terjun ke dunia pendidikan. Dulu, saya ingin menjadi perwira AL karena didikan militer sudah tertanam di dalam diri saya. Apalagi keluarga juga banyak berkarier di militer. Kakak saya seorang CPM, adik saya perempuan menikah dengan Kolonel TNI AL. Pokoknya, dunia militer mendarah daging di keluarga,” ungkapnya. 


Namun, Prof. Tjondro harus melupakan mimpinya untuk menjadi seorang Perwira TNI AL. Cacat permanen pada salah satu bagian tubuhnya telah menggugurkan kesempatannya di dunia militer, meskipun ia mantan pejuang kemerdekaan. Saat itu, pemerintah Belanda menawarkan kepada mahasiswa Indonesia untuk belajar di Negeri Tulip tersebut. Yakni setelah RI – Belanda berdamai, tahun 1949 dibuka kesempatan mengikuti pendidikan Universitas maupun akademi militer. 


Berkat bantuan sukarelawan Belanda, Prof. Lenshoek -teman sekolah ayahnya yang menjadi dokter sukarelawan di RS Cikini- ia berhasil dikirim ke negeri Belanda. Ia berangkat bersama 30 mahasiswa lainnya asal Indonesia yang masuk perguruan tinggi tanpa harus mengikuti tes. Ia belajar Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Amsterdam selama sepuluh tahun. 


Lamanya pendidikan disebabkan kondisi sosial politik antara pemerintah Belanda dan RI yang selalu bergolak. Meskipun demikian, ia sempat menjadi asisten Professor Wertheim, seorang guru besar yang pernah mengajar (1930-an) Fakultas Hukum di Hindia Belanda dan sejak tahun 1950-an memimpin Lembaga Penelitian Asia Tenggara Universitas Amsterdam. 


“Saya lulus doktorandus tahun 1961 dan sempat terkatung-katung. Hubungan  politik yang memburuk antara kedua negara membuat seluruh mahasiswa Indonesia harus keluar dari Belanda (1958). Tadinya sudah ingin ke London atau Amerika untuk melanjutkan pendidikan, tetapi pemerintah kurang dana. Berkat pertolongan Prof. Wertheim, saya tetap di Belanda karena saya bekerja sebagai asistennya. Kan yang disuruh keluar RI hanya mahasiswa bukan pekerja akademis. Belanda tidak bisa begitu saja mendeportasi saya karena mereka sejak dahulu taat hukum,” ujarnya. 


Menjadi Mata-mata
Pengumpul informasi untuk ATMIL di KBRI Jerman, Inggris dan lain-lain.
Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro telah berjuang sejak zaman kemerdekaan. Keikutsertaan dalam perang kemerdekaan melawan penjajah, sudah dijalani saat usianya masih  sangat muda, 17 tahun. Ia adalah pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di Surabaya, setelah Proklamator Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Akibat pertempuran, ia mengalami cacat permanen yang mengharuskan dirinya melupakan impian menjadi seorang marinir (TNI AL).


Sosok satu ini, juga berperan penting dengan meyakinkan pelajar Papua di Belanda tentang pembebasan Irian Barat (Papua) dari cengkeraman penjajah Belanda. Meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran, dengan memberikan informasi tentang politik dan pergerakan musuh sangat berguna bagi pemerintah RI dan tentara republik. Posisinya sebagai mahasiswa di negeri Belanda saat itu memungkinkan dirinya bersama Kwik Kian Gie, Samadikun dan lain-lain, bebas bergerak dan melaporkan kegiatan militer Belanda di tanah Papua. Sebagai asisten Prof. DR. W. F. Wertheim, Kepala Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Amsterdam cukup kebebasan baginya untuk mencari  informasi.


“Kami ‘menyadap’ informasi dari tentara Belanda yang datang atau berangkat ke Papua. Semua informasi kami kirimkan melalui Atmil-atmil ke pemerintah pusat, yang mengolahnya untuk mengetahui posisi pasukan Belanda di sana. Dari informasi yang kami berikan, pasukan kita mengetahui di mana posisi radar tentara Belanda, konsentrasi pasukannya dimana dan lain-lain,” ungkapnya. 


Mahasiswa Indonesia, lanjutnya, saat itu dikekang kebebasannya di negeri Bunga Tulip tersebut. Ia dan teman-temannya bahkan tidak diizinkan untuk mengakses peta Papua di perpustakaan universitas dan kampus. Keberadaan mereka diawasi dengan ketat oleh intelijen Belanda untuk mencegah penggalangan dukungan terhadap bergabungnya Papua ke pangkuan Republik Indonesia. Namun, berkat kelihaian Prof. Tjondro yang terlatih dalam pergerakan bawah tanah, gerak-gerik mahasiswa Indonesia di Belanda sebagai “mata-mata” tidak terdeteksi. 


“Selain berhasil menyadap informasi dari tentara Belanda, kami juga sukses mendekati pemuda Papua yang disekolahkan pemerintah Belanda. Lewat Persatuan Pelajar Indonesia atau PPI, kami mengajak mereka bergabung menjadi WNI dan mendukung perjuangan Indonesia. Bahkan, kami berhasil mengajak dua atau tiga orang mengganti passport mereka menjadi WNI di Bonn. Kami juga berhasil membina para calon Domine asal Papua untuk mengakui Indonesia. Akhirnya tahun 1960, terjadi penyerahan Papua ke pangkuan Indonesia dari pemerintah Belanda,” ujarnya. 


Ketika akhirnya pertempuran berakhir pada tahun 1963, Prof. Tjondro pulang ke tanah air. Setibanya di tanah air, ia mendapat tawaran untuk mengajar di Universitas Gajah Mada atau Institut Pertanian Bogor. Pemikirannya yang menglobal membuat dirinya memilih IPB sebagai tempat mengabdi.
“Bogor kan dekat dengan Jakarta sehingga memudahkan saya menghubungi pemerintah pusat maupun pergi ke luar negeri untuk mengikuti seminar, lokakarya ilmiah dan lain-lain. Karena saya hidup di luar negeri sekitar 20 tahun, yakni di Belanda dari tahun 1950 – 1963 atau selama 13 tahun. Kemudian saya juga belajar dan bekerja di berbagai negara seperti di Singapura selama satu tahun, London -  Inggris, Bangkok – Thailand, Madison – USA, Manila – Filipina dan Rotterdam, Belanda,” tegasnya. 


Tiga tahun setelah bertugas menjadi dosen IPB, Prof. Tjondro dikirim ke Amerika untuk melanjutkan kuliah. Ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di University of Wisconsin, Madison selama dua tahun (1966-1968). Saat itu, memang terjalin kerjasama antara Amerika dan Indonesia dalam pendidikan. Sepulang dari Amerika, ia mengajar di Fisipol UI Jakarta selama dua tahun (1969-1971).  Prof. Tjondro berhasil meraih gelar DR. Sosiologi dengan predikat cum laude di Universitas Indonesia. 


Biodata Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro Pendidikan
  1. Europesche Lagere School, Rembang (1934), Purwokerto (1934-1939) dan Tegal (1940-1941)
  2. Hogere Burgerschool, Malang (1941-1942)
  3. Sekolah Menengah Pertama Prapatan, Jakarta (1942-1943)
  4. Sekolah Menengah Pertama Ketabang, Surabaya (1943-1944)
  5. Sekolah Menengah Tinggi, Surabaya (1944-1945)
  6. Sekolah Menengah Tinggi, Jakarta (1947-1948)
  7. Politiek Sociale Faculteit Universiteit Amsterdam, Amsterdam (1950-1961)
  8. Graduate School, University of Wisconsin, Madison, Wisconsin (1966-1968)


Karier
  1. Dosen Fakultas Pertanian IPB Bogor (1963-1996)
  2. Dosen FISIPOL UI (1969-1971)
  3. Anggota MPR RI (1992-1997)


Kegiatan
  1. Anggota Team Peneliti Menteri Ristek Prof. Soemitro (1982-1983)
  2. Asisten Menteri V Ristek Prof. Habibie dan Sekretaris Dewan Riset Nasional (1984-1996)
  3. Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) 1990 – sekarang
  4. Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI (2004-2008)
  5. Wakil Ketua AIPI (2008-2013)
  6. Konsultan UNO – ECAFE Bangkok (1972)
  7. Director Transmigration Training and Research Center, Departemen Transmigrasi, Koperasi dan Tenaga Kerja (1974-1976)
  8. Menduduki “Jan-Tinbergen Leerstoel” (chair) (Kedudukan Kehormatan Guru Besar pemenang Hadiah Nobel) Universitas Erasmus di Rotterdam (1981)
  9. Konsultan ADB Manila untuk Kemiskinan dan Transmigrasi Konsultan World Bank untuk masalah agrarian (1979)
  10. Anggota MPR RI (1992-1997)
  11. LSM: Yayasan AKATIGA Bandung, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria Bandung – Jakarta, dan Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia Jakarta (1992-1997)
  12. Ketua Dewan Penyantun STPN Yogyakarta (2009)
  13. Penasehat Yayasan Bina Desa Jakarta
  14. Pembina Yayasan Padi Mandiri Bogor
  15. Pendukung Kerukunan Pensiunan Agraria/Pertanahan Jakarta


Himpunan Profesi
    1. Anggota Senior/Mantan Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia
    2. Anggota Pendiri Yayasan Sajogyo Institute, Bogor
    3. Mantan Presiden International Rural Sociology Association

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews