Thursday, March 29, 2012

Saya dan Nyonyah Besar

Setelah saya menjadi seorang ibu, tiba-tiba muncul sisi lain dari diri saya. Alter ego, istilahnya. Sisi diri saya yang berbeda, yang emosional dan benci pada anak saya.
Saya beri dia nama: Nyonyah Besar.
Nyonyah Besar, oh Nyonyah Besar! Betapa dominannya si Nyonyah Besar menguasai saya, saat saya sedang menghadapi problema cukup aneh: stress pasca persalinan setelah… 7 bulan anak saya lahir. Aneh, bukan?
Dialah yang sering merasuki hati saya, setiap kali saya tak bisa mengontrol diri. Dia acapkali menutupi sisi keibuan saya yang lembut dan penyayang. Nyonyah Besar sering berbisik begini :

Duh… repotnya punya anak. Coba saya punya duit banyak banget, pasti saya sudah mempekerjakan lima orang asisten. Yang satu ahli gizi, tukang atur menu anak biar nutrisinya lengkap. Satu lagi tukang masak, yang kreatif bikin ide masakan biar anak nggak bosan. Satu lagi bagian nyuapin anak, jadi biar dia aja yang repot kalau anak lagi mogok makan. Dua orang lagi bagian bersih-bersih rumah, jadi kalau makanan kececer dimana-mana langsung ada yang ngepel. Saya ga mau ngerasain repotnya urus anak, tinggal menangani hal-hal yang saya suka seperti mengajak main atau jalan-jalan. Asyik kan? Saya kan Nyonyah Besar.

Masa bodoh yah? Begitulah Nyonyah Besar.
Oh ya, Nyonyah Besar juga suka berbisik begini :

Teriak aja ke anak kamu: Aduh, kamu maunya apa sih?! Lagi-lagi tutup mulut, lagi-lagi mogok makan. Sayur ini nggak mau, buah itu nggak mau. Harus diapain lagi? Dimasak kayak apa lagi? Kalau kamu kurus, ntar ibumu ini yang dicela orang-orang. Ogah dong! Makanya kamu makan, biar gemuk!

Tujuh bulan setelah anak saya lahir di bulan April 2011, saya kira saya telah terbebas dari hantu stress pasca persalinan. Dikenal juga dengan post partum depression, lebih populernya lagi: baby blues. Setelah masa begadang dua bulan terlewati, dan masa ASI eksklusif dilalui dengan lancar (walau tersendat beberapa kali karena radang penyumbatan saluran ASI), saya melangkah pasti dengan percaya diri. Ternyata, mental saya justru roboh di masa perkenalan MPASI (Makanan Pendamping ASI) . Yang bagi banyak ibu menyenangkan, bagi saya penuh drama. Sehingga alter ego saya, si Nyonyah Besar, menguasai hati.
Terutama saat saya stress melihat anak pilih-pilih makanan; buah ini dilepeh, sayur itu disembur.
Punggung saya rasanya cenat-cenut sewaktu berusaha menyuapkan makanan ke mulutnya.
Saya stress dengan suasana makan yang selalu diwarnai ceceran lengket dimana-mana.
Sumpek melihat dapur yang penuh cucian, perangkat masak yang kotor menumpuk.
Oke, sebelum anda menghakimi saya. Saya tahu kok, bahwa:
- Sebaiknya ibu turun tangan langsung mendidik anak, termasuk mengatur nutrisi anaknya.
- Ibu punya wawasan tentang variasi bahan makanan yang lengkap gizi.
- Ibu kreatif dalam mengolah bahan-bahan makanan, supaya anak tidak bosan.
- Orang tua mencontohkan gaya hidup dan makanan sehat di rumah pada anaknya.
- Dan yang paling penting: punya stok sabar tak terbatas!

Pada kenyataannya, tidak semudah itu bagi saya melaksanakan kelima poin itu sekaligus. Faktor utamanya, adalah saya sering merasa sendiri. Saya mengurus putra pertama hanya berdua dengan suami. Kami saat itu tinggal jauh dari Indonesia jauh dari sanak saudara dan orang tua. Sudah letih karena itu semua, dibarengi juga dengan saya yang masih menyusui. Sehingga energi saya seakan terkuras tiap hari. Capek mengurus rumah tangga tanpa asisten, saya sering mengabaikan kesehatan saya. Makan sering telat. ASI saya pun, terkadang mampet rasanya.

Saya menangani anak dengan perasaan tertekan. Berdampaklah hal itu pada perilakunya; ia jadi semakin rewel saat saya semakin tak sabar. Tidak hanya itu, stress saya juga berdampak pada pertumbuhan anak. Saat saya bawa dia untuk cek kesehatan, dokter yang bertugas menuding grafik tumbuh kembang anak saya yang stagnan. Kualitas ASI saya tak sebaik dulu dan makanan tambahan anak saya kurang, begitu diagnosanya. Makin tertekanlah saya.

Hingga suatu hari, meledaklah semua gelembung stress saya. Saya sadari, ternyata saya tak lolos dari hal yang saya takuti. Baby blues menerjang pertahanan saya. Apa yang mengintai kebanyakan ibu yang baru melahirkan, menghampiri saya 7 bulan pasca persalinan! 
“Kamu mau konsultasi sama psikolog?” Tanya suami waktu itu, prihatin melihat saya yang suka merasa sedih tanpa sebab. Saya menggeleng lemah.
Suami memeluk saya, dan mengajak bicara dari hati ke hati. Akhirnya setelah mencurahkan semuanya, saya tenang dan berusaha menata emosi.
Saya menyadari, saya harus menyelamatkan diri saya dari lubang Baby Blues ini. Tekad saya bulat, saya harus mengusir Nyonyah Besar! Saya harus bisa menikmati tiap detik mengasuh anak! Langkah demi langkah pun mulai saya lakukan.


Langkah pertama: Ubah persepsi
Pagi itu, saya masuk dapur dan menebarkan pandangan saya, sambil berpikir keras. Saya menyadari, selama ini saya masuk dapur dengan perasaan terpaksa. Makanya, saya tidak semangat memikirkan mengolah MPASI anak.
Oke. Saya coba telaah persepsi saya terhadap “dapur”. Ketika saya kecil, saya tumbuh dalam pemahaman bahwa “dapur” itu letaknya “di belakang rumah”, seperti ibu saya selalu mengistilahkannya. “Bawa tuh piring kotor ke belakang!” katanya. Segala sesuatu yang letaknya “di belakang rumah” pastilah tidak dikunjungi kalau tidak perlu, atau biarlah jadi wilayah kekuasaan asisten. Karena merekalah yang dibayar untuk bergulat dengan hal-hal yang terjadi di dapur: kotor, panas, bau.

Padahal, dapur bukan tempat kotor, panas ataupun bau. Kita saja yang menjadikannya begitu. Dapur adalah sumber energi rumah, tempat “bahan bakar” bagi seluruh penghuni rumah diolah. Karena dapur, anak dan suami bisa beraktifitas dengan optimal. Penting kan keberadaannya? Jangan sampai terpinggirkan. Bersihkan dan jaga dengan rajin seperti anda rajin membersihkan kamar tidur. Atur ventilasi supaya udara mudah berganti.

Saya camkan motivasi itu baik-baik di benak saya. So, dapur harus jadi tempat yang nyaman dilihat dan dibuat beraktifitas. Oke, selanjutnya…

Langkah kedua: Jangan mempersulit diri
Masih tentang dapur, saya teringat rumah-rumah orang Belanda yang saya kunjungi, yang dapurnya begitu nyaman. Sudah begitu, mereka telaten melengkapi alat-alat masak, terkadang rela menyisihkan uang untuk membeli yang mahal dan canggih. Lucunya, masakan Belanda itu tidak bervariasi dan bumbunya sederhana, cara membuatnya pun tidak serumit masakan Indonesia dengan bumbu komplit. Agak ironis saja, pikir saya saat itu, kalau alat masak lengkap hanya untuk memasak yang simple.

Tentu saja pemikiran saya ini salah. Alat masak yang canggih tidak dijual khusus untuk chef yang ahli kuliner saja, malahan untuk meringankan kerja chef kelas rumahan seperti kita, para ibu. Barang-barang itu ada agar kita tidak mempersulit diri. Dan selama harganya tidak kelewat mahal dan sesuai kebutuhan, sah-sah saja. Boleh kok, beli blender yang kualitasnya bagus, kalau memang akan sering dipakai menghaluskan makanan anak (saya membatin sambil melirik blender butut saya yang sering bikin stress).

Langkah ketiga: Mulai dari yang mudah
Saya tak harus memasak yang sulit-sulit, yang penting bergizi dan kita menikmati prosesnya. Bahkan, bahan makanan yang diproses terlalu lama akan berkurang nilai gizinya. Begitu pula olahan MPASI untuk anak saya. Kenapa harus dipikir yang susah?
Saya jadi teringat resep simple untuk membuat selai. Hari itu juga saya mengeluarkan panci kesayangan saya dan mencoba membuat selai strawberry. Pastinya, lebih fresh ketimbang selai botolan di rak-rak supermarket, plus tanpa kandungan gula sehingga aman untuk anak saya. Dan, mudah untuk membuatnya!


Langkah keempat: Meniru semangat ibu-ibu lain

Saya pernah membaca blog-blog buatan ibu-ibu yang suka membagi resep-resepnya. Biasanya, sebelum menuliskan resep di postnya, mereka selalu bercerita tentang apresiasi keluarganya terhadap masakan itu.
“Anakku paling doyan bolu buatan bundanya ini…”
“Ini nggak cuma kedoyanan anak-anak aja, tapi juga ayahnya.”
Resep-resep itu kebanyakan masakan rumahan yang umum atau kreasi sederhana. Bukan resep rumit yang butuh kemampuan masak ala chef. Saya terkesan dengan riangnya mereka menceritakan kehangatan keluarga saat memakan penganan tersebut. Sesuatu yang dibuat dengan cinta, akan diapresiasi dengan cinta juga.
Nah, dengan mengingat para ibu di luar sana yang memiliki attitude positif seperti ini, saya jadi semakin termotivasi.

Langkah kelima: Perhatikan diri sendiri
Melihat anak saya yang tidak menikmati aktifitas makan, tiba-tiba saya teringat sesuatu: bagaimana dengan saya sendiri? Plakkk! Rasanya saya tertampar keras-keras. Saya juga sering, melakukan kegiatan makan dengan tergesa-gesa. Tidak menikmati, karena ingin segera selonjoran di sofa sambil laptopan. Lah, makan untuk diri sendiri saja, saya tidak perhatian, apalagi memberi makan anak!
Saya jadi sadar, kata-kata “nutrisi bunda, nutrisi buah hati” ternyata tidak hanya berlaku saat anak ada di kandungan saja. Hal ini juga sangat berlaku sampai bahkan setahun pasca persalinan. Jika saya memperhatikan makanan saya sendiri, saya akan punya cukup tenaga untuk melewati ini semua. Dan itu semua dimulai dari kebiasaan makan yang baik. Nutrisi raga, nutrisi jiwa juga kan? Men sana in corpore sano… Bila tubuh ibu sehat, jiwa dan emosi ibu juga terjaga.

Langkah keenam: Lakukan bersama
Makan bersama-sama jadinya lebih lahap daripada makan sendirian. Setuju kan? Demikian pula dengan anak-anak, mereka pun tidak semangat jika makan sendiri nggak ada temannya. Jika ada ibu, ayah dan saudara-saudaranya yang juga sedang makan, mereka akan termotivasi menghabiskan apa yang di piringnya juga.

Maka saya mencoba trik yang untuk saya ternyata sangat berhasil. Saat anak makan, sayapun ikut makan. Selesai menyuapkan bubur, saya juga menyendokkan nasi dan lauk untuk saya sendiri. Ini juga membantu saya menjaga asupan energi, supaya saya tidak lupa menjaga makan saya sendiri. Plus, anak saya jadi lebihbersemangat untuk makan karena ingin meniru gerakan mengunyah dan ekspresi saya yang menikmati makanan!

Sedang di pagi hari dan malam hari sewaktu suami di rumah, saya berkiat mengajak dia makan bersama-sama saya dan anak kami sebisa mungkin. Untuk hari kerja, misalnya, agar tak tergesa-gesa disiasati dengan saya dan suami bangun lebih pagi agar ada cukup waktu sarapan sebelum memulai aktifitas. Bila pagi hari diawali dengan santai, perasaan kita seharian juga akan enak.

Langkah ketujuh: Bagi beban dengan suami
Ini khusus untuk membantu saya lebih sabar menyuapi anak. Bagi saya, kehadiran suami dan keterlibatan dia bisa membuat beban terasa ringan. Misalnya, cukup mengobrol ringan dengan suami sambil makan, bisa membantu saya lebih rileks saat menghadapi anak. Kadang anak kita tak bisa diajak bekerjasama. Nah, dengan suami yang menemani dan mengajak ngobrol santai, waktu jadi berjalan lebih cepat tak terasa. Libatkan juga suami: ajak dia bergantian menyuapi, atau menghibur anak saat ia mulai bete.

Langkah kedelapan: Ingat semangat waktu hamil dulu!
Terakhir, bila semua itu tak manjur, saya mengingat diri saya yang menggebu-gebu saat hamil dulu. Saya yang waktu hamil bertekad menerapkan positive parenting. Jika sejak kecil mereka dilingkupi cara mendidik yang positif dan tanpa paksaan, mereka akan terbentuk jadi pribadi yang baik dan positif. Tapi nyatanya, apa yang saya lakukan sekarang?
Baru saja mengajarkan makan, yang cuma awal dari yang lain-lain, saya sudah cemberut dan penuh negativisme begini. Ini belum pelajaran-pelajaran lain harus saya ajarkan padanya kelak: belajar bermasyarakat, belajar moralitas dan akhlak yang baik, belajar jadi warga negara yang baik, belajar hidup yang bertanggung jawab. Bagaimana mau mengajarkan itu semua dengan positif dan menyenangkan, kalau mengajari anak makan saja saya tak sabar? Lebih jauh lagi, seperti apa jadinya anak yang saya lepas ke masyarakat nanti, jika saya terus begini? 

Demikian langkah-langkah yang saya lakukan dalam mengusir si Nyonyah Besar, sosok kelam yang muncul saat saya didera Baby Blues. Semoga pengalaman pribadi dan tips dari saya berguna untuk sesama ibu, yang juga tengah berusaha menyelamatkan diri dari masalah yang sama.
Saya sadari, penting bagi tiap wanita untuk menikmati perjalanannya menjadi ibu, terutama di masa setahun pertama. Karena pertempuran masih panjang. Masih banyak yang harus saya ajarkan pada putra saya seiring usianya yang bertambah. Perasaan depresi hanya akan membuat saya letih dan menggerutu, bahkan dalam saat-saat yang ekstrem ingin rasanya berlari jauh-jauh dari anak. Akibatnya produksi ASI menurun, asupan makanan tambahan pun tak optimal, sehingga tumbuh kembang anak terganggu.

Saya mungkin tidak bisa jadi ibu yang sempurna, tapi satu hal yang saya tahu: saya bukan Nyonyah Besar. Saya bukan dia, yang inginnya melarikan diri dari anak. Saya ingin menikmati pengalaman parenting saya tanpa depresi. Untuk itu, fisik saya harus terjaga… agar jiwa dan emosi saya sebagai ibu pun turut terjaga.

Catatan kaki:
Alter ego: sisi kepribadian yang jauh berbeda dari kepribadian asli seseorang (Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Alter_ego)

http://hellonez.wordpress.com/2012/03/15/saya-dan-nyonyah-besar/

Friday, March 9, 2012

Blog Writing Competition

Tahukah Anda kalau kesehatan kita itu ditentukan sejak kita masih berada di dalam kandungan? Bahkan dipengaruhi juga oleh nutrisi Bunda yang melahirkan kita. Sayangnya, banyak orang yang belum paham mengenai pentingnya nutrisi sebelum dan selama hamil, serta masa menyusui, dan dampaknya pada ibu dan si buah hati.

Jadi, yuk sama-sama menyebarkan tips, berita, ataupun segala informasi mengenai kesehatan Bunda di Indonesia dengan mengikuti lomba blog bertema: “Ayo Dukung Bunda: Kesehatan Bunda Kesehatan Kita”.
Jangan lupa gunakan tag “Lomba Blog NuB” dan tambahkan link http://nutrisiuntukbangsa.org/blog-writing-competition/ pada artikel anda.

Detail lebih lengkap mengenai lomba ini, dapat dilihat pada poster di bawah ini.


Sumber : http://nutrisiuntukbangsa.org/

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews