Ditulis Oleh: Rina Herawati |
Sebagaimana
telah menjadi tradisi tahunan di seluruh dunia, buruh merayakan Hari
Buruh pada 1 Mei. Tak terkecuali pada tahun ini. Di Indonesia,
sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, perayaan Hari Buruh terbesar
dipusatkan di Jakarta, dilakukan dengan “turun ke jalan”, dan kali ini
melalui route Bunderan Hotel Indonesia – Istana Negara – Stadion Gelora
Bung Karno. Menurut perkiraan, perayaan Hari Buruh di Jakarta itu
diikuti oleh sekira 125.000 orang buruh (Konferensi Pers
KSPI-KSPSI-KSBSI, 2012).
Seperti tahun-tahun sebelumnya juga,
dalam menyambut hari buruh, beragam tanggapan muncul dari anggota
masyarakat yang tidak ikut terlibat dalam perayaan tersebut. Yang paling
umum terdengar adalah tanggapan miring dari kelompok pekerja ‘kerah
putih’ yang menganggap perayaan itu sebagai “bikin macet dan mengganggu
saja”. Masyarakat pekerja “kerah putih” ini bahkan secara eksplisit
ataupun implisit memisahkan dirinya dari kelompok buruh yang turun ke
jalan dengan menyebut dirinya dan kelompoknya sebagai “kita” dan
menyebut kelompok buruh yang turun ke jalan sebagai “mereka”. Sebuah
penyebutan yang menunjuk pada sikap anti solidaritas. Selain dari
kelompok pekerja “kerah putih” keluhan terhadap aksi turun ke jalan yang
dilakukan oleh massa buruh juga kerapkali muncul dari sopir angkutan
umum yang penghasilannya berkurang karena beberapa route tertutup masa
buruh.
Pertanyaannya adalah, benarkah
kelompok pekerja “kerah putih” dan sopir angkutan umum yang merupakan
bagian dari mayoritas masyarakat pekerja yang tidak ikut turun ke jalan,
dirugikan dengan aksi buruh turun ke jalan? Pertanyaan ini bisa juga
direformulasikan atau dilanjutkan dengan pertanyaan berikut: sebenarnya,
buruh bergerak (dan turun ke jalan) untuk (kepentingan) siapa?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita
seharusnya melihat aksi buruh turun ke jalan sebagai sebuah “cara” atau
“alat”, bukan ”tujuan”. Buruh turun ke jalan sebagai sebuah “cara” untuk
mencapai tujuan. Aksi buruh turun ke jalan ini dapat dianalogikan
dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter untuk mengobati suatu
penyakit, baik dengan memberikan obat dan atau dengan cara melakukan
tindakan operasi. Bahwa perdebatannya kemudian berada pada tataran
“cara” yang dipilih, tentu sah-sah saja, tetapi yang lebih penting dari
itu adalah perdebatan mengenai tujuan yang hendak dicapai oleh gerakan
buruh melalui aksi turun ke jalan tersebut.
Lalu, apa sebenarnya tujuan buruh
turun ke jalan? Bila kita memperhatikan gerakan buruh setidaknya 3 tahun
terakhir ini, kita akan melihat bahwa ada 3 isu besar yang selalu
diangkat oleh buruh ketika melakukan aksi turun ke jalan yaitu isu Upah
Layak, isu Outsourcing dan isu Jaminan Sosial. Kembali ke pertanyaan
awal, untuk kepentingan siapakah ketiga isu tersebut diangkat?
Upah Layak
Upah Layak didefinisikan sebagai upah
yang diterima oleh buruh yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya secara layak. Isu upah yang selama ini diperjuangkan oleh
buruh, sepintas lalu tampak seperti perjuangan untuk kepentingan
“pibadi”. Tapi benarkah demikian?
Ketika kita berbicara tentang upah,
sebenarnya kita sedang berbicara tentang daya beli, tentang pergerakan
ekonomi dan tentang multiplier efek yang terjadi akibat kegiatan
konsumsi yang dilakukan dengan upah tersebut. Ini berarti, makin tinggi
upah, makin tinggi pula daya beli buruh; ekonomi akan semakin bergerak
dan multiplier efek yang ditimbulkan dari kegiatan konsumsi akan makin
besar pula.
Lalu apa artinya upah layak dan daya
beli yang tinggi pada buruh? Setidaknya ada dua hal yang patut
dipertimbangkan ketika kita berbicara tentang upah dan daya beli.
Pertama, upah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak buruh. Ketika buruh
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak terutama pangan, sandang
dan papan, secara psikologis hal itu akan membuat buruh makin tenang
dalam bekerja dan dengan demikian dapat diharapkan akan meningkat
produktifitasnya. Kedua, pemenuhan kebutuhan hidup layak juga berarti
bahwa upah yang diterima oleh buruh dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan bagi buruh dan atau keluarganya. Aspek pendidikan
ini sangat penting dan sepantasnya menjadi perhatian pemerintah.
Pendidikan yang memadai baik bagi buruh maupun anak-anak buruh akan
menjadi factor pendorong peningkatan kesejahteraan Negara di masa depan.
Sementara itu, kaitan antara upah
layak dengan pergerakan ekonomi dan multiplier efek yang dihasilkannya
sebenarnya juga telah banyak dibahas. Selama ini telah jamak diketahui
bahwa pola konsumsi buruh sangat terkait dengan sector ekonomi informal.
Ketika upah buruh meningkat, makin banyak uang yang dibelanjakan, maka
perekonomian Negara akan makin lancar bergerak. Dalam hal buruh
membelanjakan upahnya di sector informal, hal itu secara langsung akan
memberikan multiplier efek bagi pergerakan ekonomi di sector informal.
Outsourcing
Isu outsourcing, terutama outsourcing
tenaga kerja juga menjadi salah satu isu utama yang diangkat oleh buruh
ketika melakukan aksi turun ke jalan. Persoalan utama dari outsourcing tenaga
kerja adalah hilangnya kepastian kerja yang berarti hilangnya kepastian
memperoleh pendapatan, serta diskriminasi yang dihadapi oleh pekerja/
buruh outsourcing yang seringkali harus bekerja di tempat yang sama
dengan pekerja/ buruh tetap tetapi memperoleh upah dan tunjangan/
fasilitas yang berbeda dengan pekerja/ buruh tetap.
Penelitian dan rangkaian diskusi yang telah dilakukan oleh AKATIGA- Pusat Analisis Sosial memperlihatkan bahwa outsourcing
tenaga kerja tidak hanya terjadi sector industry manufaktur tetapi
terjadi juga di sector perbankan dan telekomunikasi yang pekerjanya
termasuk dalam kategori “kerah putih”. Praktek outsourcing ini sangat
meluas di dua sector tersebut. Di sector perbankan misalnya, praktek
outsourcing tenaga kerja dapat ditemukan pada bidang marketing, teller,
kartu kredit dsb (AKATIGA-OPSI-FES, 2012). Dalam perkembangan terakhir,
praktek outsourcing di sector perbankan diatur oleh Bank
Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011 tentang
Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain. Implementasi dari peraturan ini
masih belum diketahui.
Dengan demikian, ketika buruh turun ke
jalan dan menyatakan “tolak outsourcing”, untuk siapakah mereka
berjuang, dan siapa yang akan diuntungkan ketika perjuangan ini
berhasil? Jelaslah, perjuangan ini bukan hanya untuk kepentingan buruh
yang turun ke jalan, melainkan juga untuk semua pekerja/ buruh yang saat
ini bekerja dengan system outsourcing.
Jaminan Sosial
Masyarakat tentu
masih ingat perjuangan panjang buruh yang turun ke jalan untuk menuntut
berlakunya System Jaminan Sosial. Perjuangan panjang selama lebih dari 2
tahun dengan ratusan kali aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh buruh
di berbagai kota itu akhirnya membuahkan hasil awal berupa disahkannya
Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (UU BPJS). BPJS dalam UU tersebut meliputi BPJS Kesehatan dan
BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1
Januari 2014, yang berarti pada saat itu seluruh rakyat Indonesia,
seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali, termasuk pekerja “kerah
putih” dan sopir angkutan kota yang selama ini mengeluh tiap kali buruh
melakukan aksi massa turun ke jalan, akan mendapatkan jaminan kesehatan,
berdasarkan Undang-Undang. Selain itu, salah satu point penting dalam
UU BPJS adalah Pasal 19 ayat 4 yang menyatakan bahwa pemerintah membayar
dan menyetor iuran untuk penerima bantuan iuran kepada BPJS. Ini
berarti, dalam hal ada anggota masyarakat yang tidak memiliki kemampuan
untuk membayar iuran, maka kewajiban untuk membayar iuran beralih kepada
Negara dalam bentuk pembayaran bantuan iuran.
Dari seluruh uraian di atas, tampak
jelas bahwa selama ini perjuangan buruh menuntut upah layak, menghapus
sistem outsourcing (yang eksplotatif) dan menuntut berlakunya jaminan
social, bukanlah perjuangan untuk “dirinya sendiri”. Buruh sedang
berjuang untuk masyarakat yang lebih luas, bahkan untuk seluruh rakyat
Indonesia. Dengan demikian, sepatutnyalah perjuangan buruh itu mendapat
dukungan.
Hidup Buruh!
----------------------------------------
*Rina Herawati
Peneliti AKATIGA
AKATIGA - Center of Social Analysis
Ph: +62 22 250 23 03
Hp: +62 813 1979 0035
|