Tuesday, February 23, 2016

Seminar HIV/AIDS Terbesar di Indonesia

YAYASAN PELITA ILMU PROUDLY PRESENT

SEMINAR KESEHATAN NASIONAL TERBESAR DI INDONESIA YANG MENGUPAS KASUS HIV/AIDS
SECARA MENDALAM BERSAMA PARA PAKAR DI BIDANG HIV/AIDS
Didukung oleh 5 profesi kesehatan

Dengan judul :
" Peran Tenaga Kesehatan Indonesia Dalam Penatalaksaan HIV/AIDS dan Mengakhiri
Epidemi HIV/AIDS pada tahun 2030"

Waktu/tanggal :
6 Maret 2016
@ballroom Graha Dirgantara Halim, Jakarta Timur
07:30 - 17:30
Pembicara : 
- Prof. Dr. dr. Nila Anfasa Moeloek (Menkes RI) *tentative
- Prof. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD-KAI (Pendiri YPI, Ketua Perhimpunan Dokter Peduli Aids Indonesia)
- dr. Kemal N. Siregar, SKM, MA, Ph.D (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional)
- Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KAI ( Penemu kasus AIDS PERTAMA DI INDONESIA,
pendiri YPI,ketua Masyarakat Peduli AIDS Indonesia)
- Helen Muchtar Orang Dengan HIV/AIDS (Odha)

Selengkapnya... di http://www.ypi.or.id/

Saturday, February 20, 2016

Kalijodo Potret Kemiskinan Kota

Kemiskinan akan menciptakan kebudayaannya sendiri dan elemen-elemennya adalah sama bagi kaum miskin di mana saja.
Kawasan Kalijodo yang luasnya kurang lebih lima hektar merupakan kawasan padat penduduk. Kawasan ini merupakan bagian dari Rukun Warga (RW) 05, Kelurahan Pejagalan. Dari data di kepala RW, tercatat warga sebanyak 2000 kepala keluarga. Jumlah ini hanya di atas kertas, karena jumlah sesungguhnya bisa lebih dari 10 kali lipat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya warga yang merupakan pendatang tidak terdata. Hal ini seperti dikatakan oleh Ketua RW 05, Kunarso. 

“Para pendatang itu datang begitu saja dan mendiami rumah-rumah penduduk yang merupakan sanak saudaranya, kerabat, atau sekedar teman. Kalau punya uang, tinggal di kos-kosan. Mereka ini tidak memiliki KTP Jakarta, kalaupun ada hanya KTP musiman. Bahkan jika mereka anggota preman, jika didekati ketua RT, mereka bisa lebih galak. Ndak ada urusan sama RT,” demikian mereka sering mengatakan.

Pendatang yang tak terdata, sebagian besar hidup di lapak-lapak atau rumah kos­-kosan yang dibangun di atas tanah di pinggir sungai, bahkan di atas badan sungai. Bangunan liar mereka dirikan atas dasar penguasaan lahan, dengan cara memasang patok. Untuk menghindari gangguan dari orang atau kelompok lain, mereka menempatkan beberapa preman yang siap menjaga. Jika mereka sudah memiliki modal, mereka akan membangun lapak atau tempat kos-kosan yang mereka sewakan kepada para buruh yang bekerja di pabrik sekitar Kalijodo. Bangunan yang mereka dirikan biasanya terbuat dari papan kayu atau triplek. Hal inilah yang membedakan para pendatang dengan warga, yang merupakan penduduk yang sudah turun-temurun hidup di kawasan Kalijodo.

Antropolog Universitas Indonesia, Parsudi Suparlan memberikan batasan yang jelas antara perkampungan kumuh dengan perkampungan liar. Perkampungan kumuh menurut Parsudi masih secara langsung atau tidak langsung berada di bawah pengendalian pejabat kelurahan. Sedangkan pemukiman liar pengendalian sosial dan keamanan dari kelurahan sama sekali tidak ada.

Pesatnya jumlah penduduk, rupanya tidak sebanding dengan ketersediaan sarana dan prasara umum. Seperti jaringan air minum, sanitasi, dll. Hal ini terutama disebabkan karena para pendatang itu datang dan mendiami tanah­-tanah yang tidak diperuntukan sebagai tempat tinggal. Mereka menempati lahan-lahan milik pemerintah yang merupakan jalur hijau, di sepanjang bantaran sungai.
Pemerintah pun sudah berulang kali melakukan pembokaran terhadap pemukiman liar di kawasan ini. Sepanjang tahun 2002 tercatat sudah beberapa kali Pemerintah Daerah DKI Jakarta, melakukan penggusuran atas kawasan ini. Penggusuran terbesar atas lapak­lapak judi dan tempat hiburan malam yang dibangun di atas bantaran-bantaran sungai, baik Sungai Banjir Kanal, maupun Kali Angke pernah terjadi pada 25 Januari 2002, setelah pertempuran hebat terjadi di kawasan itu.

Setiap kali terjadi penggusuran, perlawanan sengit dilakukan oleh warga penghuni perumahan liar. Perlawanan dilakukan oleh anggota geng, sampai ibu-ibu, mereka biasanya memblokade jalan masuk dengan perabotan rumah tangga seperti kursi, tangga dll. Namun, setelah perjudian dilarang, dan tidak beroperasi lagi, pembongkaran lapak-lapak liar, berlangsung damai. Hal ini seperti yang terjadi pada Maret 2003 lalu. Ketika itu, penggusuran yang menggunakan alat berat belco, berlangsung tanpa ada aksi penghadangan seperti yang terjadi sebelumnya. Padahal, seperti diberitakan berbagai media massa, aparat Tramtib Jakarta Utara, bahkan sempat mempersiapkan dukun-dukun yang didatangkan khusus dari Jawa Timur untuk menghalau para pengacau.

Penggusuran terhadap hunian liar, sebenarnya hanyalah upaya simtomatik. Karena warga pendatang yang tak memiliki tempat tinggal itu hanya berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain. Ketika Kalijodo digusur, mereka berpindah ke bawah jembatan layang menuju Bandara Soekarno Hatta. Penyebab utamanya adalah pertambahan jumlah penduduk itu, terutama disebabkan oleh arus urbanisasi yang meningkat pesat sejalan dengan semakin lancarnya sarana transportasi. Bagi penduduk dari luar Pulau Jawa, daerah Penjaringan, menjadi tempat strategis, mengingat letaknya yang tak jauh dari Pelabuhan Tandjung Priok, tempat mereka pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta.

Adanya banyak faktor pencetus kedatangan penduduk dari desa-desa ke kota. Faktor utama, biasanya karena masalah ekonomi. Namun ada juga faktor lain seperti politik, keamanan, serta motifasi sosio-kultural lainnya. Apalagi, seperti pandangan umum di negara-negara sedang berkembang, kota merupakan pusat peradaban. Hal ini telah menjadi satu faktor kuat yang menarik orang-orang desa bermigrasi ke kota (urbanisasi).
Penelitian dari Hans Dieters Evers tentang urbanisasi di beberapa negara di Asia Tenggara, memberikan kesimpulan, bahwa perkembangan dan kemajuan ekonomi yang terpusat di ibu kota negara, telah memancing eksodus penduduk dari kota-kota kecil ke ibu kota.

Namun, kehadiran kaum pendatang itu terkadang tanpa mempertimbangkan akibat­-akibat yang disebabkan oleh menumpuknya or­ang-orang di kota dalam ruang tempat tinggal, sumber hidup dan nafkah yang sempit dan langka. Hal inilah yang pada akhirnya membuat hidup menjadi lebih sulit, dan kualitas maupun harkat manusia menurun.

Perbaikan hidup dari kelompok masyarakat miskin perkotaan, menjadi salah satu penyebabnya, karena tidak semua orang miskin itu merasa kecewa dan tidak puas. Orang miskin yang terbenam dalam perkampungan miskin di kota, banyak yang merasa puas hidup dalam lingkungan busuk itu.
Mereka merasa ngeri membayangkan bagaimana hidup di luar perkampungan miskin mereka. Bahkan orang miskin yang terhormat sekalipun, bila sudah lama jatuh miskin cenderung diam di tempat. Mereka terpukau oleh kekekalan tata kehidupan yang ada. Hanya malapetaka serbuan wabah, penyakit, atau bencana alam yang akan menyadarkan kehidupan mereka.

Hal inilah yang memunculkan apa yang disebut oleh Oscar Lewis tentang “kebudayaan kemiskinan.” Oscar Lewis adalah antropolog kenamaan Amerika yang banyak melakukan penelitian seputar kemiskinan di kota-kota di Amerika maupun di Amerika Latin. Hasil penelitiannya itu membuahkan pemikiran tentang the culture of povertyatau kebudayaan kemiskinan. Dalam bukunya The Children of Sanches dan La Vida, ia berkisah tentang kehidupan orang Puerto Rico, di New York dan di negerinya.

Menurut Lewis, kemiskinan akan menciptakan kebudayaannya sendiri dan elemen-elemennya adalah sama bagi kaum miskin di mana saja. Jadi “kebudayaan” itu adalah self generating (bergerak dengan sendirinya). Lewis mengemukakan bahwa kebudayaan kemiskinan itu (culture of poverty) mempunyai ciri-ciri:
Tingkat mortalitas yang tinggi dan harapan hidup yang rendah, Tingkat pendidikan yang rendah, Partisipasi yang rendah dalam organisasi seperti buruh, partai politik, dll. Tidak atau jarang ambil bagian dalam perawatan medis dan program-program kesejahteraan lainnya. Sedikit saja memanfaatkan fasilitas-fasilitas kota, seperti toko-toko, museum, atau bank. Upah yang rendah dan keamanan kerja yang rendah. Tingkat keterampilan kerja yang rendah. Tidak memiliki tabungan atau kredit. Tidak memiliki persediaan makanan di rumah untuk hari esok. Kehidupan mereka tanpa kerahasian pribadi (privacy). Sering terjadi tindak kekerasan termasuk pemukulan terhadap perempuan dan anak-anak. Perkawinan sering berdasarkan konsensus, sehingga sering terjadi perceraian dan pembuangan anak. Keluarga bertumpu pada ibu. Kehidupan keluarga otoriter. Bergantung pada nasib atau fatalisme. Besarnya hipermasculinity complex di kalangan pria dan martyr complex di kalangan wanita.

Apa yang dikatakan Lewis memang terjadi di pelbagai kawasan miskin perkotaan. Di daerah kumuh di Kecamatan Penjaringan, kekerasan terhadap wanita dan anak-anak merupakan kasus yang menonjol. Hal yang kasat mata, adalah eksploitasi anak-anak, bahkan bayi, oleh orang tua mereka di perempatan­perempatan jalan dan bawah-bawah jembatan layang, anak-anak dipaksa menjadi pengemis. Ini memang tidak monopoli Penjaringan, tetapi juga ada di sebagian tempat di Jakarta. Kelompok anak inilah yang sering menjadi objek kekerasan. 

Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan juga menonjol. Kasus kekerasan yang paling dramatis dalam tiga tahun terakhir dialami Sri (bukan nama sebenarnya), pada Juni 2002. Ia dianiaya oleh suaminya yang jengkel, melihat isterinya kembali menjadi pelacur di sebuah bar di kawasan Kalijodo. Sang isteri sendiri berdalih, kembali menekuni profesi lamanya, lantaran si suami yang pedagang pakaian di kapal-kapal yang merapat di pelabuhan Sunda Kelapa, tak mencukupi kebutuhan sehari-hari, apalagi ibu muda ini juga harus menanggung kehidupan keluarganya di kampung. 

Si Suami, Parno (bukan nama sebenarnya), yang mendapati isterinya di tempat pelacuran kalap. Ia mengamuk di sebuah bar tempat biasa Sri mangkal. Akibatnya, tidak hanya Sri, tapi dua teman wanita lain juga ikut terluka oleh amukan Parno. Lelaki yang hanya tamatan SD ini mengaku tidak sadar menikam isterinya sendiri dan lantaran mabuk setelah menenggak empat botol anggur cap Rajawali. Akibatnya, Sri dan Dewi terpaksa harus dibawa ke rumah sakit, setelah menderita beberapa luka, akibat tikaman senjata tajam.

Menurut Parno, tindakannya itu dilakukan lantaran amarahnya memuncak. Ketika menikahi Sri, pada tahun 1997, isterinya pernah berjanji, tak akan melanjutkan profesi lamanya sebagai wanita penghibur di kompleks pelacuran dan perjudian Kalijodo. “Waktu akan menikah, ia berjanji tidak akan menjadi pelacur lagi. Tetapi, kenyataannya ia masih selingkuh dan empat kali saya memergokinya praktik lagi,” tutur Parno, yang lulusan sekolah dasar. “Yang tiga kali lalu saya maafkan.”

Kisah Parno dan Sri, adalah salah satu persoalan dari sekian kompleksitas masalah masyarakat urban di perkotaan. Kehadiran para pendatang yang tidak disertai pendidikan yang memadai. Dengan tingkat pendidikan minimal, semakin rendah pula keterampilan dan pengetahuan seseorang. Akibatnya, kecil juga kompetensi seseorang untuk dapat diserap dalam sektor-sektor kerja formal. Tiadanya keterampilan yang mendukung untuk bisa diterima bekerja, sementara kebutuhan hidup di kota yang terus mendesak, membuat pikiran orang seperti Sri, tidak memiliki pilihan selain menjual tubuhnya sebagai pekerja seks komersial. 

http://catatansibedu.blogspot.co.id/2012/10/kalijodo-potret-kemiskinan-kota.html


Sebagian Besar Warga Kalijodo Tolak Penggusuran

Rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta yang akan menggusur berbagai tempat usaha dan tempat tinggal di Kalijodo mendapat reaksi dari warga setempat. 

Dari pantauan di lapangan ada puluhan tempat usaha dan tak terhitung banyaknya tempat tinggal warga yang mengaku telah puluhan tahun menempati kawasan yang terbagi dua wilayah, Jakarta Barat dan Jakarta Utara. 

Namun sebagian besar kawasan Kalijodo masuk wilayah Jakarta Utara yang menurut Mashud (50) warga RT 01 RW 5 kelurahan Pejagalan, kecamatan Penjaringan Jakarta Utara tidak setuju akan ada penggusuran. 

"Kami tidak setuju (penggusuran), saya sudah 20 tahun di sini. Dari kelurahan dan kecamatan juga belum pernah sosialisasi kemari, kami juga ini manusia yang ingin diperlakukan dengan baik," ujar Mashud kepada di lokasi, Kamis (11/2/2016). 

Sementara itu Udin sahabat Mashud mengatakan tidak semua usaha di tempat ini prostitusi.

"Ini juga tidak semua prostitusi, warga disini juga tidak semua main pelacur, ini dari zaman tahun 1950 sudah pemukiman warga," bebernya. 

Di tempat terpisah namun masih di kawasan Kalijodo, Iwan (38) warga Tambora, Jakarta Barat mengaku tidak akan melakukan perlawanan jika nanti memang ada penggusuran. 

"Biarin aja Kalijodo digusur, asal jangan rumah saya. Cafe-cafe di situ berisik sampai tengah malam hingga dini hari," ketusnya.  

Berbeda denga Intan (40) warga Kalijodo yang menjual minuman ringan dan rokok menegaskan tidak akan rela tempatnya digusur. 

"Pokoknya saya tidak rela, sampai seperti apa pun akan saya lawan. Memangnya apa peduli pemerintah kepada kami? Nanti kami kerja apa," ucapnya. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, pewarta sengaja tidak mengambil satu pun foto wajah warga.  

Menanggapi persoalan penggusuran Kalijodo, Camat Tambora, Jakarta Barat Djaharuddin mengaku siap saja menjalankan apa yang nanti sudah menjadi perintah pimpinan. "Tentunya dilakukan bersama, musyawarah mufakat," ujar Camat yang belum lama menjabat ini kepada wartawan di Jakbar.  

Untuk diketahui tempat usaha dengan gaya arsitektur Amerika Latin, Anggrek Bar yang bangunannya terlihat menyita perhatian saat memasuki Kalijodo. Selain nampak kokoh dan kuat, tempat hiburan malam ini kelihatan elegan dibanding Stand Moon Light, Sari Ayu, King of The Night, Sukaria Cafe, Antika dan lainnya. 

Selain itu di kawasan ini ada juga Warteg Barokah dan Mushola Nur Hasanah yang telah berdiri puluhan tahun.

JALUR HIJAU DAN PERPUTARAN EKONOMI 

Rencana Gubernur DKI  Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam menata ulang Kawasan Kalijodo Jakarta Utara menjadi jalur hijau dan taman kota yang tertib dan aman, mulai memicu keresahan tokoh masyarakat dan warga sekitar. Karena penataan ulang itu nantinya, diyakini akan menggusur pemukiman warga, serta berbagai lokasi usaha yang selama ini menghidupi kawasan tersebut. 

"Kami sebagai tokoh masyarakat dan juga masyarakat yang tinggal di kawasan Kalijodo, pada dasarnya tidak pernah dan tidak akan menghalangi program Gubernur Ahok dan juga Presiden Jokowi menata ulang Kawasan Kalijdo menjadi kawasan yang Bersih, Hijau,Tertib,dan Aman," kata Haji Suryana tokoh masyarakat Kalijodo kepada wartawan di Jakarta, Minggu (14/2/2016). 

Menurut Suryana janganlah program yang baik itu, justru pada akhirnya malah mematikan pendapatan ribuan masyarakat sekitar dan juga para pengusaha tempat hiburan, yang selama ini menggantungkan hidupnya dari roda perkonomian yang berputar di kawasan Kalijodo, sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

Untuk menjadikan kawasan Kalijodo lebih tertib dan aman, maka sebaiknya diambil langkah-langkah yang melibatkan tokoh masyrakat dan juga masyarakat Kalijodo sendiri dan bukannya dengan langkah penertiban secara membabi buta.

Dengan begitu, tokoh-tokoh dan masyarakat Kalijodo sendiri akan ikut tergerak  mensukseskan prorgam tersebut. "Kita musyawarahkan secara bersama-sama," ujar Suryana. 

Sementara itu Daeng Azis tokoh masyarakat Kalijodo lainnya mengatakan misalnya untuk masalah kebersihan di Kalijodo. "Kita siap untuk membantu Pemprov DKI menjadikan kawasan Kalijodo menjadi kawasan yang bersih dan hijau. Misalnya lewat program penanaman pohon dan juga kegiatan kerja bakti rutin," ucap Daeng Azis. 

Sementara untuk menciptakan keamanan dan ketertiban, Haji Suryana dan Daeng Azis mengungkapkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu tokoh masyarakat dan warga Kalijodo selalu bahu membahu menjaga keamanan dan ketertiban, di kawasan yang menjadi periuk nasi mereka.

"Dari dulu, secara umum kawasan Kalijodo termasuk kawasan yang tertib dan aman. Kalaupun ada satu dua gesekan atau kejadian lainnya, itu semua justru terjadi di luar kawasan ini. Termasuk kejadian kecelakaan yang belum lama ini terjadi," ujar Suryana. 

"Jadi bicara soal keamanan dan ketertiban. Kami warga Kalijodo siap kok bekerjasama dengan aparat kepolisian dan Satpol PP mewujdkdan itu. Tapi sekali lagi, tidak dengan membongkar atau menertibkan penghuninya. Kami yakin masih ada jalan lain yang lebih manusiawi dan tidak merugikan warga kalijodo," sambung Suryana.

Daeng menambahkan penertiban dan penggusuran justru dikhawatirkan akan memantik persoalan sosial baru. Karena nantinya akan ada ribuan orang yang kehilangan mata pencaharian. 

"Jika asap dapur sudah tak ngebul lagi, bukan tidak mungkin mereka akan kehilangan akal sehat. Ujung-ujungnya, apapun akan mereka lakukan untuk mendapatkan uang, termasuk melakukan pelanggaran hukum. Dampak seperti ini yang semestinya juga harus dipikirkan para pejabat pengambil keputusan," beber Daeng Azis.


Situasi Kalijodo saat ini cukup ramai oleh ratusan aparat gabungan dari Polda Metro Jaya, Kodam Jaya dan Satpol PP yang berjaga di dua lokasi kawasan tersebut, yakni wilayah Jakarta Utara meliputi kelurahan Pejagalan, kecamatan Penjaringan Jakarta Utara dan kelurahan Angke, kecamatan Tambora Jakarta Utara. 

Kabag Ops Polres Metro Jakarta Barat, AKBP Yossi mengatakan pihaknya siap menunggu perintah dari pimpinan terkait pengamanan dalam penertiban Kalijodo. 

"Kewenangannya dari Pemprov DKI Jakarta, kami siap menjalankan perintah pimpinan (Polda), ini baru operasi saja," ujar Yossi di lokasi, Sabtu (20/2/2016). 

Sementara itu Jenny (40) penjaga warung kelontong yang ada di kawasan Kalijodo mengatakan masih bingung. "Iya, yang lain sudah mengemas barang-barang, tapi saya masih bingung mau pindah kemana," ucapnya nampak sedih. 

Dari pantauan Harian Terbit masih ada warung-warung kelontong yang menjual rokok dan minuman ringan, masih buka seperti biasanya. Namun sudah lebih banyak warung kelontong dan warung makan yang tutup karena sudah ditinggal penghuninya. 

Sementara terlihat beberapa pengelola Cafe sibuk mencopot AC dan peralatan sound system untuk dibawa keluar dari kawasan Kalijodo. 

Penjagaan keamanan oleh petugas gabungan baik itu dari Kodam Jaya, Polda Metro Jaya dan Satpol PP terus dilakukan, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan bersama. 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews