Saturday, May 19, 2012

BURUH BERGERAK UNTUK SIAPA?

Ditulis Oleh: Rina Herawati   

Sebagaimana telah menjadi tradisi tahunan di seluruh dunia, buruh merayakan Hari Buruh pada 1 Mei. Tak terkecuali pada tahun ini. Di Indonesia, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, perayaan Hari Buruh terbesar dipusatkan di Jakarta, dilakukan dengan “turun ke jalan”, dan kali ini melalui route Bunderan Hotel Indonesia – Istana Negara – Stadion Gelora Bung Karno. Menurut perkiraan, perayaan Hari Buruh di Jakarta itu diikuti oleh sekira 125.000 orang buruh (Konferensi Pers KSPI-KSPSI-KSBSI, 2012).
Seperti tahun-tahun sebelumnya juga, dalam menyambut hari buruh, beragam tanggapan muncul dari anggota masyarakat yang tidak ikut terlibat dalam perayaan tersebut. Yang paling umum terdengar adalah tanggapan miring dari kelompok pekerja ‘kerah putih’ yang menganggap perayaan itu sebagai “bikin macet dan mengganggu saja”. Masyarakat pekerja “kerah putih” ini bahkan secara eksplisit ataupun implisit memisahkan dirinya dari kelompok buruh yang turun ke jalan dengan menyebut dirinya dan kelompoknya sebagai “kita” dan menyebut kelompok buruh yang turun ke jalan sebagai “mereka”. Sebuah penyebutan yang menunjuk pada sikap anti solidaritas. Selain dari kelompok pekerja “kerah putih” keluhan terhadap aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh massa buruh juga kerapkali muncul dari sopir angkutan umum yang penghasilannya berkurang karena beberapa route tertutup masa buruh.

Pertanyaannya adalah, benarkah kelompok pekerja “kerah putih” dan sopir angkutan umum yang merupakan bagian dari mayoritas masyarakat pekerja yang tidak ikut turun ke jalan, dirugikan dengan aksi buruh turun ke jalan? Pertanyaan ini bisa juga direformulasikan atau dilanjutkan dengan pertanyaan berikut: sebenarnya, buruh bergerak (dan turun ke jalan) untuk (kepentingan) siapa? 

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita seharusnya melihat aksi buruh turun ke jalan sebagai sebuah “cara” atau “alat”, bukan ”tujuan”. Buruh turun ke jalan sebagai sebuah “cara” untuk mencapai tujuan. Aksi buruh turun ke jalan ini dapat dianalogikan dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter untuk mengobati suatu penyakit, baik dengan memberikan obat dan atau dengan cara melakukan tindakan operasi. Bahwa perdebatannya kemudian berada pada tataran “cara” yang dipilih, tentu sah-sah saja, tetapi yang lebih penting dari itu adalah perdebatan mengenai tujuan yang hendak dicapai oleh gerakan buruh melalui aksi turun ke jalan tersebut.
Lalu, apa sebenarnya tujuan buruh turun ke jalan? Bila kita memperhatikan gerakan buruh setidaknya 3 tahun terakhir ini, kita akan melihat bahwa ada 3 isu besar yang selalu diangkat oleh buruh ketika melakukan aksi turun ke jalan yaitu isu Upah Layak, isu Outsourcing dan isu Jaminan Sosial. Kembali ke pertanyaan awal, untuk kepentingan siapakah ketiga isu tersebut diangkat?
Upah Layak
Upah Layak didefinisikan sebagai upah yang diterima oleh buruh yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya secara layak. Isu upah yang selama ini diperjuangkan oleh buruh, sepintas lalu tampak seperti perjuangan untuk kepentingan “pibadi”. Tapi benarkah demikian?
Ketika kita berbicara tentang upah, sebenarnya kita sedang berbicara tentang daya beli, tentang pergerakan ekonomi dan tentang multiplier efek yang terjadi akibat kegiatan konsumsi yang dilakukan dengan upah tersebut. Ini berarti, makin tinggi upah, makin tinggi pula daya beli buruh; ekonomi akan semakin bergerak dan multiplier efek yang ditimbulkan dari kegiatan konsumsi akan makin besar pula.
Lalu apa artinya upah layak dan daya beli yang tinggi pada buruh? Setidaknya ada dua hal yang patut dipertimbangkan ketika kita berbicara tentang upah dan daya beli. Pertama, upah untuk memenuhi kebutuhan hidup layak buruh. Ketika buruh dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak terutama pangan, sandang dan papan, secara psikologis hal itu akan membuat buruh makin tenang dalam bekerja dan dengan demikian dapat diharapkan akan meningkat produktifitasnya. Kedua, pemenuhan kebutuhan hidup layak juga berarti bahwa upah yang diterima oleh buruh dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi buruh dan atau keluarganya. Aspek pendidikan ini sangat penting dan sepantasnya menjadi perhatian pemerintah. Pendidikan yang memadai baik bagi buruh maupun anak-anak buruh akan menjadi factor pendorong peningkatan kesejahteraan Negara di masa depan.
Sementara itu, kaitan antara upah layak dengan pergerakan ekonomi dan multiplier efek yang dihasilkannya sebenarnya juga telah banyak dibahas. Selama ini telah jamak diketahui bahwa pola konsumsi buruh sangat terkait dengan sector ekonomi informal. Ketika upah buruh meningkat, makin banyak uang yang dibelanjakan, maka perekonomian Negara akan makin lancar bergerak. Dalam hal buruh membelanjakan upahnya di sector informal, hal itu secara langsung akan memberikan multiplier efek bagi pergerakan ekonomi di sector informal.
Outsourcing
Isu outsourcing, terutama outsourcing tenaga kerja juga menjadi salah satu isu utama yang diangkat oleh buruh ketika melakukan aksi turun ke jalan. Persoalan utama dari outsourcing tenaga kerja adalah hilangnya kepastian kerja yang berarti hilangnya kepastian memperoleh pendapatan, serta diskriminasi yang dihadapi oleh pekerja/ buruh outsourcing yang seringkali harus bekerja di tempat yang sama dengan pekerja/ buruh tetap tetapi memperoleh upah dan tunjangan/ fasilitas yang berbeda dengan pekerja/ buruh tetap.
Penelitian dan rangkaian diskusi yang telah dilakukan oleh AKATIGA- Pusat Analisis Sosial memperlihatkan bahwa outsourcing tenaga kerja tidak hanya terjadi sector industry manufaktur tetapi terjadi juga di sector perbankan dan telekomunikasi yang pekerjanya termasuk dalam kategori “kerah putih”. Praktek outsourcing ini sangat meluas di dua sector tersebut. Di sector perbankan misalnya, praktek outsourcing tenaga kerja dapat ditemukan pada bidang marketing, teller, kartu kredit dsb (AKATIGA-OPSI-FES, 2012). Dalam perkembangan terakhir, praktek outsourcing di sector perbankan diatur oleh Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia No. 13/25/PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Pihak Lain. Implementasi dari peraturan ini masih belum diketahui.
Dengan demikian, ketika buruh turun ke jalan dan menyatakan “tolak outsourcing”, untuk siapakah mereka berjuang, dan siapa yang akan diuntungkan ketika perjuangan ini berhasil? Jelaslah, perjuangan ini bukan hanya untuk kepentingan buruh yang turun ke jalan, melainkan juga untuk semua pekerja/ buruh yang saat ini bekerja dengan system outsourcing.
Jaminan Sosial
Masyarakat tentu masih ingat perjuangan panjang buruh yang turun ke jalan untuk menuntut berlakunya System Jaminan Sosial. Perjuangan panjang selama lebih dari 2 tahun dengan ratusan kali aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh buruh di berbagai kota itu akhirnya membuahkan hasil awal berupa disahkannya Undang-Undang RI Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). BPJS dalam UU tersebut meliputi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
BPJS Kesehatan mulai beroperasi pada 1 Januari 2014, yang berarti pada saat itu seluruh rakyat Indonesia, seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali, termasuk pekerja “kerah putih” dan sopir angkutan kota yang selama ini mengeluh tiap kali buruh melakukan aksi massa turun ke jalan, akan mendapatkan jaminan kesehatan, berdasarkan Undang-Undang. Selain itu, salah satu point penting dalam UU BPJS adalah Pasal 19 ayat 4 yang menyatakan bahwa pemerintah membayar dan menyetor iuran untuk penerima bantuan iuran kepada BPJS. Ini berarti, dalam hal ada anggota masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar iuran, maka kewajiban untuk membayar iuran beralih kepada Negara dalam bentuk pembayaran bantuan iuran.
Dari seluruh uraian di atas, tampak jelas bahwa selama ini perjuangan buruh menuntut upah layak, menghapus sistem outsourcing (yang eksplotatif) dan menuntut berlakunya jaminan social, bukanlah perjuangan untuk “dirinya sendiri”. Buruh sedang berjuang untuk masyarakat yang lebih luas, bahkan untuk seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian, sepatutnyalah perjuangan buruh itu mendapat dukungan.
Hidup Buruh!
----------------------------------------
*Rina Herawati
Peneliti AKATIGA
AKATIGA - Center of  Social Analysis
Ph: +62 22 250 23 03
Hp: +62 813 1979 0035

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews