Belum lama ini Direktorat Lalu Lintas (Dirlantas) Polda
Metro Jaya menyelenggarakan seminar Permasalahan
dan Penanganan Transportasi Online di DKI Jakarta, dan begitu banyak
persoalan yang muncul dipertanyakan, menjadi bahan perdebatan serta pastinya
tak cukup sehari untuk diperbincangkan, sebab imbasnya pun ke masalah semakin
macetnya Ibukota negara ini.
Sehingga saya bersama
jurnalis yang lain pun tak ada kesempatan, untuk mempertanyakan persoalan lalu
lintas yang menurut kami adalah suatu masalah, atau sekadar menyampaikan sumbang
saran di dalam seminar yang diselenggarakan oleh korps Bhayangkara tersebut.
Masalah kemacetan di
DKI Jakarta yang sudah sedemikian akut, selain menyita waktu dan memboroskan
bahan bakar, juga membuat berbagai kerugian yang berdampak luas bagi
masyarakat. Walau di satu sisi, kemacetan di jalan tol menjadikan lahan bagi
para pedagang tahu, kacang dan makanan lainnya nekat merangsek masuk ke jalan
tol, demi sesuap nasi serta mimpi-mimpi sederhana mereka dalam menjalani
kehidupan.
Dari aneka bentuk
kendaraan yang setiap hari terjebak kemacetan di jalan raya dan di jalan tol,
pastinya memiliki kepentingan masing-masing yang jika diklasifikasikan tentu
ada tingkatan nilai bahkan bukan hanya penilaian dari segi materi, tapi juga
nyawa.
Negara yang
sedemikian luas ini berlandaskan Pancasila di dalamnya ada dua sila yang juga
tak kalah penting, yakni Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, serta Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga tidak ada larangan bagi siapa
saja Rakyat Indonesia yang ingin datang ke Jakarta, mencari pekerjaan dan
berkompetisi di hutan beton ini.
Walau tidak sedikit
kita melihat bangunan Ruko atau Gedung yang dari awal dibangun sampai
bertahun-tahun lamanya tidak laku, atau kurang berdaya guna bahkan ada yang
tidak ada fungsinya sama sekali. Entah karena pengusaha atau investor akan
berpikir dua kali untuk membuka peluang dan menjalankan usaha di Jakarta,
lantaran salah satu persoalan yaitu masalah kemacetan!
Ada lebih dari
puluhan juta orang di DKI Jakarta, baik itu penduduk atau hanya pendatang. Pendatang
tentunya akan silih berganti dengan masa tinggal yang berbeda-beda, dan sudah
pasti sebagian hidupnya ada di jalan raya.
Di dalam kemacetan
sehari-hari pulang pergi, dari hasil obrolan dengan pengemudi mobil pribadi,
taxi, driver online, truk hingga pengendara sepeda motor cukup beragam jika
berbicara soal waktu yang terbuang akibat kemacetan. Dimana seharusnya jarak
tempuh jika tidak terlalu macet atau tidak macet sama sekali, hanya kurang
lebih 30 menit atau satu jam telah sampai ke tempat kerja, tempat tujuan atau
pulang ke rumah, apartemen. Sehingga jika kita rata-rata sederhanakan waktu menjalani
macet, katakanlah 3 jam sehari dan 25 hari kerja atau aktivitas sekolah, kerja
dalam sebulan.
Kemudian misalkan
usia orang Indonesia 63 tahun dikurangi 5 tahun (balita) belum sekolah, belum
banyak aktivitas, maka ada usia 58 tahun aktivitas. Maka jika kita kali dan
kalkulasi dengan angka-angka pasti, membuat saya pun tercengang! Sebab ada masa
6 tahun 360 jam kehidupan terbuang hanya karena macet!
3 jam x 25 (hari) =
75 jam
75 jam x 12 (bulan) =
900 jam
900 jam x 58 (tahun)
= 52.200 jam
24 jam x 360 (hari) =
8.640 jam
8.640 jam x 6 (tahun)
= 51.840 jam
52.200 jam – 51.840
jam = 360 jam
8.640 jam x 58
(tahun) = 501.120 jam
Ada selama 6 tahun 360
jam menjalani hidup di dalam kemacetan!
Kamis 26 April 2018
Oleh: M. Danial Bangu
SATU DIANTARA SOLUSI KEMACETAN DI IBUKOTA
Jadi bagaimana
solusinya untuk mengurangi kemacetan di DKI Jakarta? Haruskah dilakukan upaya yang fundamental namun berkeadilan?
Nanti kutuliskan...