Sunday, June 23, 2013

Inilah 8 Perusahaan Asing Pelaku Pembakaran Lahan di Riau dan Jambi


JAKARTA, Berita HUKUM - 2 Negara tetangga, Malaysia dan Singapura, mengeluhkan asap tebal yang 'diekspor' Indonesia dari kebakaran hutan di Riau. Indonesia pun dipersalahkan. Namun diduga, perusahaan asing asal Malaysia yang beroperasi di tanah Riau juga turut bertanggung jawab atas kebakaran hutan ini.

Sebanyak 8 perusahaan asal Malaysia diduga kuat terlibat dalam pembakaran lahan yang menyebabkan kebakaran besar di Riau ini. Kedelapan perusahaan itu mengelola perkebunan kelapa sawit di Riau. Mereka yakni, PT Langgam Inti Hiberida, PT Bumi Rakksa Sejati, PT Tunggal Mitra Plantation, PT Udaya Loh Dinawi. Kemudian PT Adei Plantation, PT Jatim Jaya Perkasa, PT Multi Gambut Industri, dan PT Mustika Agro Lestari.

Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya pun angkat bicara. Dia meminta ketegasan pemerintah Malaysia dalam menindak 8 perusahaan itu jika nantinya mereka terbukti bersalah dalam pembakaran lahan ini.

"Kita melakukan tindakan sesuai dengan hukum kita, dan saya minta mereka (Malaysia) juga melakukan hal yang sama," tegas Balthasar di Pekanbaru, Riau, Minggu (23/6).

Dia pun mengancam akan membeberkan nama kedelapan perusahaan Malaysia itu dalam pertemuan tingkat menteri negara-negara angota ASEAN. Pertemuan itu dijadwalkan terselenggaran pada 25 Juni mendatang.

"Saya akan menyampaikan nama-nama perusahaan itu ke Menteri Lingkungan Hidup Malaysia," tegas Baltahasar.

Dia menyatakan, pihaknya akan menindak tegas dan tak pandang bulu dalam menangani kasus ini, sekalipun perusahaan itu berasal dari negara lain. "Hukum Indonesia berlaku," ucap Balthasar.

Dalam penanganan kasus pembakaran lahan ini, Balthasar menuturkan, pihaknya akan mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dia menyatakan, baik sengaja maupun tidak sengaja, perusahaan yang terbukti terlibat dalam pembakaran lahan akan dikenakan sanksi pidana. 

Sementara, sebelumnya Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB) mencatat titik api pada 18 Juni lalu di Riau sebanyak 148 titik, 26 titik di Jambi, 22 titik di Kalimantan Barat, enam titik di Sumatera Selatan, dan lima titik di Sumatera Barat. BNPB juga mengklaim dari 850 hektare lahan gambut yang terbakar sudah 650 hektare sudah dipadamkan. Beberapa waktu lalu berkurang menjadi 21 lokasi di Sumatera. Dari jumlah tersebut, 13 titik berada di Riau.

Rekor baru asap itu tercatat pada pukul 11:00 waktu setempat (atau 10:00 WIB) setelah terjadi peningkatan pesat pada Indeks Standar Polutan (Pollutant Standards Index/PSI), yang mengukur krisis kabut asap akibat kebakaran hutan di Indonesia.

Para pejabat Indonesia dan Singapura telah mengadakan pembicaraan darurat mengenai cara memadamkan api di lahan-lahan pertanian dan perkebunan di Pulau Sumatera.

Berdasarkan sejumlah pedoman yang diterbitkan Pemerintah Singapura, level PSI di atas 400 selama 24 jam "mungkin mengancam nyawa orang-orang sakit dan orang lanjut usia".

Dokter umum Philip Koh mengatakan, ia menyaksikan lonjakan sekitar 20% pasien dalam konsultasi pekan lalu dan memperkirakan bahwa sekitar 80% dari semua pasien itu menderita penyakit yang berhubungan dengan kabut asap.

"Pasien saya mengatakan mereka khawatir tentang berapa lama ini akan berakhir dan berapa tinggi level yang akan terjadi. Sekarang ini sudah mencapai ketinggian 400, seberapa tinggi lagi itu akan terjadi?" katanya kepada AFP.

Koh juga mengatakan bahwa banyak pasien yang kembali ke kliniknya untuk membeli masker karena pasokan di pengecer habis. "Persediaan kami di sini juga habis," katanya, seperti dikutip surabayapost.com.

Jika indeks PSI di level 400 berlangsung selama 24 jam, pemerintah menyarankan semua anak, orangtua, dan orang yang menderita sakit untuk tinggal di dalam rumah, tutup semua jendela dan menghindari aktivitas fisik sebanyak mungkin.

Terpisah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyatakan, sekitar 300 titik api yang terjadi di Riau berasal dari wilayah konsesi Hutan Tanaman Industri dan perkebunan yang dikuasai industri. "Ini menunjukkan perusahaan pemegang hak pengelolaan wilayah hutan dan perkebunan masih jauh dari sikap bertanggung jawab," kata aktivis WALHI Zenzi Suhadi dalam rilisnya.

Selama satu dekade terakhir, kata Zenzi, kebakaran hutan yang rutin terjadi dipengaruhi dengan adanya unsur kesengajaan pelaku usaha perkebunan skala besar dalam pembukaan lahan. "Industri bubur kertas juga banyak yang lalai menjalankan tata kelola produksi dan lingkungan," ujarnya. Hal ini, menurutnya, disebabkan lemahnya regulasi dan masih terlalu mudahnya pemberian izin penguasaan wilayah hutan dan perkebunan dari pemerintah kepada perusahaan.

Selain kelalaian perusahaan, Ia memaparkan, sejak rezim Hak Pengelolaan Hutan dimulai hingga bergeser ke sektor perkebunan, hutan tanaman industri, dan tambang, wilayah hutan hujan tropis di Indonesia memang telah terdegradasi menjadi lahan kritis dan hutan sekunder. "Vegetasi hutan yang berubah menjadi lahan sekunder dan kritis didominasi tumbuhan perintis dan semak yang padat sehingga semakin meningkatkan resiko kebakaran," ujarnya.

Sedangkan Direktur Eksekutif WALHI Musri Nauli mengungkapkan, bahwa sejumlah kebakaran hutan di luar wilayah konsesi merupakan operandi pihak tertentu yang menginginkan lahan menjadi kritis. "Jika lahan berubah jadi kritis, pengeluaran izin pelepasan kawasan hutan menjadi wilayah konsesi bisa lebih cepat," katanya.

WALHI menuntut pemerintah bersikap tegas dengan menerapkan Undang-Undang Perkebunan dan Undang-Undang Kehutanan untuk menindak tegas para pengusaha yang dalam operasional perusahaannya merusak lingkungan.

Organisasi pemerhati lingkungan hidup ini menganggap, jika kedua undang-undang ini diberlakukan maka pengeluaran izin terhadap perusahaan yang mau mengelola wilayah hutan bisa semakin diperketat. Cek Ribut Kabut Asap di sini.(dbs/bhc/opn)

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews