Monday, November 7, 2016

Kebutuhan Dokter di Indonesia Mendesak! Butuh Keseriusan Pemerintah

Oleh: Mohammad Danial Bangu

Sejak kecil kita tak akan pernah lupa, bahwa menjadi dokter masih menjadi cita-cita paling didambakan, bahkan hingga saat ini. Coba silahkan tanyakan saja kepada anak-anak di lingkungan kita, pasti dari beberapa anak saja akan terucap profesi yang mulia itu, ingin menjadi dokter. Walau banyak anak-anak Indonesia saat ini bercita-cita ingin menjadi seorang artis, lantaran semakin banyaknya stasiun televisi yang menyuguhkan berbagai sinetron, namun cita-cita menjadi seorang dokter tetap tak pernah hilang dalam harapan anak-anak Indonesia.

Berbagai alasan polos akan dikemukakan oleh anak-anak, tentang mengapa mereka ingin menjadi seorang dokter. Yakni, ingin mengobati ibunya jika sakit, mengobati bapaknya jika sakit, mengobati temannya jika sakit, hingga mengobati kakek dan neneknya bila jatuh sakit.

Menjadi sebuah pertanyaan, mengapa keinginan menjadi seorang dokter di negara ini masih menjadi favorit yang sering terucap dari mulut anak-anak? Sejauh ini belum ada riset yang mendalam, mengapa cita-cita menjadi seorang dokter sering terucap dari pengakuan jujur mereka.

Penulis yang pernah berkecimpung dalam dunia anak-anak, pernah menanyakan langsung ke beberapa anak. Memang ada yang menurut penilaian pribadi penulis, anak lain hanya ikut-ikutan saja setelah ada temannya menyebutkan ingin menjadi seorang dokter. 

Akan tetapi dari berbagai profesi yang penulis sebutkan, kebanyakan anak-anak tetap menginginkan menjadi seorang dokter, menyembuhkan orang-orang sakit dengan perhatian dan kasih sayang. Sungguh luar biasa, dokter lebih familiar dalam benak anak-anak.

Menjadi dokter tidak saja berguna bagi mereka yang sakit, sebab sesungguhnya seorang dokter banyak terlibat dalam berbagai penyuluhan dan pencegahan penyakit kepada masyarakat. Dalam berbagai kampanye positif dalam menjaga kesehatan, para dokter banyak yang ambil bagian, sehingga kalimat mencuci tangan sebelum makan, menjaga kesehatan gigi dengan rajin menggosok gigi dan berbagai kalimat yang identik dengan cara merawat kesehatan, semua berasal dari dokter. Walau yang mengingatkan hal tersebut adalah orang tua atau sahabat kita. Ah seperti dokter saja kau ini! Mungkin begitu celoteh kita kepada teman yang mengingatkan agar mencuci tangan sebelum makan.

Harapan menjadi seorang dokter pun terus mengemuka, lantaran fakta di lapangan menegaskan ternyata Indonesia dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa ini masih kekurangan tenaga dokter. Padahal kondisi saat ini, seiring kemerdekaan Indonesia yang telah lebih dari setengah abad rakyatnya terbebas dari belenggu penjajahan, alamak! Terbukti dokter sangat kurang, tidak sampai 200 ribu orang (1).

Bayangkan sebanyak 250 juta jiwa lebih penduduk selama kurun waktu 71 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, sayangnya orang-orang Indonesia yang berprofesi sebagai dokter tak sampai 200 ribu orang. Sehingga tidak mengherankan sebuah Media Online pernah mengangkat judul berita sampai menggunakan dua tanda seru: DICARI!! Kutim Kekurangan Dokter dan Bidan (2).

Kondisi ini harus segera disikapi serius oleh pemerintah dalam gerak dan kerja nyata. Sebab bagaimana mungkin Mens sana in corpore sano bisa diwujudkan secara nyata dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia, ungkapan Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, apakah hanya sekadar ungkapan paling termasyhur saja di negara yang kaya raya ini?


Pemerintah seyogyanya harus segera membuat kebijakan dalam bentuk regulasi agar lebih mengikat, dimana rumusan Undang-Undang yang disahkan agar benar-benar dijalankan oleh setiap pemerintah provinsi. Bahkan kalau perlu ada Reward dan Punishment terkait hal ini.

Undang-Undang yang saya maksudkan diantaranya menyebutkan, setiap Siswa jurusan IPA yang berprestasi namun dari keluarga yang tidak mampu harus dibiayai dan didukung penuh hingga kelulusannya. Untuk kemudian diarahkan masuk fakultas kedokteran di Universitas terbaik atau paling tidak yang ada di daerah, dengan biaya dan dukungan penuh oleh pemerintah daerah, yang nantinya mereka akan mengabdi bagi daerahnya hingga ke desa terpencil.

Tingginya biaya untuk masuk ke fakultas kedokteran hingga menjadi seorang dokter, menjadi alasan klasik. Dengan adanya regulasi, maka kedepan bukan hanya bantuan dari para Dermawan saja kepada anak-anak bangsa yang berpotensi menjadi dokter yang handal. Mungkin memang sejak dulu sudah ada para Dermawan baik itu secara terang-terangan atau diam-diam yang membantu anak-anak dari kalangan yang tidak mampu dari persoalan biaya untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter.

Jika pemerintah mengabaikan kekurangan dokter di negara ini secara terus menerus, bagaimana nasib bangsa ini sepuluh tahun, dua puluh tahun yang akan datang? Dokter dan tenaga medis sudah mendesak dibutuhkan negeri ini, apalagi saat terjadinya bencana alam atau wabah penyakit menyerang.

Parahnya lagi sudah berulang kali di beberapa wilayah di Indonesia masih kekurangan dokter gigi (3). Padahal gigi adalah serambi keramahan orang-orang Indonesia yang terkenal santun. Nah! Bagaimana ceritanya jika hendak tersenyum saja bakal sulit, karena gigi ternyata rusak bolong-bolong, apakah harus menunggu dokter?

Sumber Data :





0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews