Oleh: Mohammad Danial Bangu
Sejak kecil kita tak akan pernah lupa, bahwa menjadi dokter masih menjadi cita-cita paling didambakan, bahkan hingga saat ini. Coba silahkan tanyakan saja kepada anak-anak di lingkungan kita, pasti dari beberapa anak saja akan terucap profesi yang mulia itu, ingin menjadi dokter. Walau banyak anak-anak Indonesia saat ini bercita-cita ingin menjadi seorang artis, lantaran semakin banyaknya stasiun televisi yang menyuguhkan berbagai sinetron, namun cita-cita menjadi seorang dokter tetap tak pernah hilang dalam harapan anak-anak Indonesia.
Sejak kecil kita tak akan pernah lupa, bahwa menjadi dokter masih menjadi cita-cita paling didambakan, bahkan hingga saat ini. Coba silahkan tanyakan saja kepada anak-anak di lingkungan kita, pasti dari beberapa anak saja akan terucap profesi yang mulia itu, ingin menjadi dokter. Walau banyak anak-anak Indonesia saat ini bercita-cita ingin menjadi seorang artis, lantaran semakin banyaknya stasiun televisi yang menyuguhkan berbagai sinetron, namun cita-cita menjadi seorang dokter tetap tak pernah hilang dalam harapan anak-anak Indonesia.
Berbagai alasan polos akan
dikemukakan oleh anak-anak, tentang mengapa mereka ingin menjadi seorang
dokter. Yakni, ingin mengobati ibunya jika sakit, mengobati bapaknya jika
sakit, mengobati temannya jika sakit, hingga mengobati kakek dan neneknya bila
jatuh sakit.
Menjadi sebuah pertanyaan,
mengapa keinginan menjadi seorang dokter di negara ini masih menjadi favorit
yang sering terucap dari mulut anak-anak? Sejauh ini belum ada riset yang
mendalam, mengapa cita-cita menjadi seorang dokter sering terucap dari
pengakuan jujur mereka.
Penulis yang pernah
berkecimpung dalam dunia anak-anak, pernah menanyakan langsung ke beberapa
anak. Memang ada yang menurut penilaian pribadi penulis, anak lain hanya
ikut-ikutan saja setelah ada temannya menyebutkan ingin menjadi seorang dokter.
Akan tetapi dari berbagai profesi yang penulis sebutkan, kebanyakan anak-anak
tetap menginginkan menjadi seorang dokter, menyembuhkan orang-orang sakit
dengan perhatian dan kasih sayang. Sungguh luar biasa, dokter lebih familiar
dalam benak anak-anak.
Menjadi dokter tidak saja
berguna bagi mereka yang sakit, sebab sesungguhnya seorang dokter banyak
terlibat dalam berbagai penyuluhan dan pencegahan penyakit kepada masyarakat. Dalam
berbagai kampanye positif dalam menjaga kesehatan, para dokter banyak yang
ambil bagian, sehingga kalimat mencuci tangan sebelum makan, menjaga kesehatan
gigi dengan rajin menggosok gigi dan berbagai kalimat yang identik dengan cara
merawat kesehatan, semua berasal dari dokter. Walau yang mengingatkan hal
tersebut adalah orang tua atau sahabat kita. Ah seperti dokter saja kau ini! Mungkin
begitu celoteh kita kepada teman yang mengingatkan agar mencuci tangan sebelum
makan.
Harapan menjadi seorang
dokter pun terus mengemuka, lantaran fakta di lapangan menegaskan ternyata
Indonesia dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa ini masih kekurangan tenaga
dokter. Padahal kondisi saat ini, seiring kemerdekaan Indonesia yang telah
lebih dari setengah abad rakyatnya terbebas dari belenggu penjajahan, alamak! Terbukti
dokter sangat kurang, tidak sampai 200 ribu orang (1).
Bayangkan sebanyak 250
juta jiwa lebih penduduk selama kurun waktu 71 tahun Kemerdekaan Republik
Indonesia, sayangnya orang-orang Indonesia yang berprofesi sebagai dokter tak
sampai 200 ribu orang. Sehingga tidak mengherankan sebuah Media Online pernah mengangkat
judul berita sampai menggunakan dua tanda seru: DICARI!! Kutim Kekurangan
Dokter dan Bidan (2).
Kondisi ini harus segera
disikapi serius oleh pemerintah dalam gerak dan kerja nyata. Sebab bagaimana mungkin
Mens sana in corpore sano bisa diwujudkan secara nyata dan dirasakan manfaatnya
oleh seluruh rakyat Indonesia, ungkapan Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa
yang kuat, apakah hanya sekadar ungkapan paling termasyhur saja di negara yang
kaya raya ini?
Pemerintah seyogyanya
harus segera membuat kebijakan dalam bentuk regulasi agar lebih mengikat,
dimana rumusan Undang-Undang yang disahkan agar benar-benar dijalankan oleh
setiap pemerintah provinsi. Bahkan kalau perlu ada Reward dan Punishment
terkait hal ini.
Undang-Undang yang saya
maksudkan diantaranya menyebutkan, setiap Siswa jurusan IPA yang berprestasi namun
dari keluarga yang tidak mampu harus dibiayai dan didukung penuh hingga kelulusannya.
Untuk kemudian diarahkan masuk fakultas kedokteran di Universitas terbaik atau
paling tidak yang ada di daerah, dengan biaya dan dukungan penuh oleh
pemerintah daerah, yang nantinya mereka akan mengabdi bagi daerahnya hingga ke
desa terpencil.
Tingginya biaya untuk
masuk ke fakultas kedokteran hingga menjadi seorang dokter, menjadi alasan
klasik. Dengan adanya regulasi, maka kedepan bukan hanya bantuan dari para
Dermawan saja kepada anak-anak bangsa yang berpotensi menjadi dokter yang
handal. Mungkin memang sejak dulu sudah ada para Dermawan baik itu secara
terang-terangan atau diam-diam yang membantu anak-anak dari kalangan yang tidak
mampu dari persoalan biaya untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter.
Jika pemerintah
mengabaikan kekurangan dokter di negara ini secara terus menerus, bagaimana nasib
bangsa ini sepuluh tahun, dua puluh tahun yang akan datang? Dokter dan tenaga medis
sudah mendesak dibutuhkan negeri ini, apalagi saat terjadinya bencana alam atau
wabah penyakit menyerang.
Parahnya lagi sudah
berulang kali di beberapa wilayah di Indonesia masih kekurangan dokter gigi (3).
Padahal gigi adalah serambi keramahan
orang-orang Indonesia yang terkenal santun. Nah! Bagaimana ceritanya jika
hendak tersenyum saja bakal sulit, karena gigi ternyata rusak bolong-bolong,
apakah harus menunggu dokter?
Sumber Data :
1. http://www.kki.go.id/
2. http://kaltim.prokal.co/read/news/280964-dicari-kutim-kekurangan-dokter-dan-bidan.html
3. http://regional.kompas.com/read/2016/10/20/17340451/jawa.timur.kekurangan.dokter.gigi
0 comments:
Post a Comment