Saturday, November 26, 2011

Memerangi Kemiskinan Menuju Pemerataan

Gejala Kemiskinan Dalam Perspektif Sejarah

Oleh : Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro

Kemiskinan sebagai gejala dalam masyarakat sudah dikenal sejak makhluk manusia menghuni bumi, tetapi kesadaran untuk memeranginya guna mewujudkan pemerataan baru mulai berkembang setelah timbul hubungan antar-bangsa dan negara yang sekarang bertambah erat, sehingga juga kita dapat membandingkan mana yang kaya dan mana yang miskin. Sepanjang dapat kita telusuri kembali sejak manusia beragama, kemiskinan sudah diakui ada, dan semua agama juga mengandung perintah

agar nasib kaum papa diperbaiki. Si kaya harus membagikan sebagian kekayaannya kepada si miskin karena Allah Sang Pencipta memberikan segala sumberdaya alam di bumi untuk dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh mahluk manusia secara merata.. Tetapi kemudian manusia menggagas dan merekayasa tatanan masyarakat dan ekonomi yang membeda-bedakan penguasaan dan pemanfaatan atas sumberdaya alam yang kaya. Demikianlah timbul pelapisan dalam kehidupan bermasyarakat manusia, sehingga yang kaya menguasai yang miskin.

Salah satu kupasan menarik tentang hubungan antara agama Kristiani dan tumbuhnya Kapitalisme pernah ditulis oleh R.H. Tawney (1938) yang dalam kesimpulan beliau mengutip ahli ekonomi J. M. Keynes yang berpendapat : “Modern Capitalism is absolutely irreligious…” sehingga akibatnya keadilan, kemiskinan dan pemerataan tidak terlalu diperhatikan. Ratusan tahun sebelum Masehi, Farao di Mesir sudah mengenal dan memelihara perbudakan. Di semua benua yang kita kenalpun ada Raja-raja yang membeda-bedakan lapisan masyarakat menurut keturunan, sehingga siapapun yang tidak tergolong “darah biru” hanya bernasib mengabdi kepada Raja dan “kaum ningrat”. Ada kemajuan sosial berarti setelah sistim perbudakan menjelang akhir abad ke-19 di beberapa negara dilarang dan selangkah lebih maju lagi waktu Serikat Bangsa-bangsa (United Nations) melarang segala bentuk perbudakan, yaitu dalam bentuk 33 negara anggota yang menandatangani UN Convention 1956. Namun demikian berbagai bentuk eksploitasi kaum papa oleh mereka yang berkuasa dan kaya masih berlangsung di banyak negara.

Perlakuan pekerja dan buruh sebagai budak dalam sistim ekonomi mutakhir pun masih terjadi dewasa ini dan mungkin berbenih dalam pemikiran ahli ekonomi klasik Adam Smith (1776) yang mengemukakan prinsip “Survival of the Fittest”, mirip dengan kehidupan di hutan rimba. Dalam kancah persaingan yang kuat akan menang dan yang lemah akan musnah. Prinsip demikian sebenarnya dalam ekonomi liberal masih berlaku juga antara perusahaan besar dan kecil, walaupun cara bersaing semakin ditertibkan melalui undang-undang, peraturan dan hak azasi manusia di ranah hukum.
Bahkan menurut Susan George (1976) kecuali perusahaan swasta juga ada lembaga-lembaga internasional seperti misalnya Bank Dunia (IBRD dan IDA) yang melalui Food Aid menyatakan membantu memerangi kemiskinan, namun dalam kenyataan membuat negara-negara berkembang semakin tergantung pada negara industrial yang maju. Karena itu S. George menyarankan agar negara-negara berkembang berusaha keras melakukan pembangunan nasional secara lebih mandiri. Tentu - menurut kesimpulan penulis – usaha itu harus dimulai dengan membenahi struktur agraria agar sektor pertanian yang produktif menyumbang kearah industrialisasi.

Pemahaman dan Kesadaran AKATIGA.
Memahami dan menyadari perkembangan sebagai dikemukakan diatas Yayasan AKATIGA sejak lahirnya (September 1991), sebagai pewaris lembaga penelitian IPB (Sosiologi Pedesaan) – ITB (Lingkungan Hidup) – ISS (Social Studies, Den Haag) yang bekerja sama antara tahun 1987-1991, turut menyumbangkan melalui penelitian gagasan untuk mengurangi kemiskinan. Penelitian di daerah pedesaan mengenai masalah agraria dan petani gurem, maupun di perkotaan mengenai buruh, UKM dan pemberdayaan perempuan menjadi perhatian utama. Gerakan perbaikan nasib golongan miskin dan tersisihkan di dunia sebenarnya sudah timbul di beberapa negara Eropa dan Amerika Latin menjelang akhir abad ke-19.
Nama-nama seperti Lenin dan Stalin di Rusia, Simon Bolivar di Bolivia dan Emilio Zapata di Mexico tercatat sebagai pendekar pembebas lapisan tertindas. Juga gerakan Demokrasi Sosial yang timbul di Jerman dan meluas ke negara-negara Eropa lain memperjuangkan perbaikan nasib buruh dari eksploatasi industriawan. Di negara-negara benua Asia kemudian tumbuh Nasionalisme seperti di India (J. Nehru), Tiongkok (Sun Yat Sen) dan di negara kita sendiri dengan lahirnya Boedi Oetomo (1908), Sarekat Dagang Islam (1912) dan Sarekat Islam (1916). Perkembangan Nasionalisme lebih dipacu lagi setelah dua perang dunia (1914-18 dan 1940-45) karena dominasi negara-negara industrial barat.
Di Asia setelah Jepang dikalahkan oleh Amerika Serikat dengan bom-atom, negara-negara bekas jajahan Inggris, Belanda, Perancis dan Amerika Serikat berhasil membebaskan diri dan menjadi negara merdeka yang sekarang kita kenal sebagai negara berkembang. Memang ada yang merebut kemerdekaan melalui perjuangan bersenjata seperti Indonesia dan Vietnam tetapi ada pula yang menerima kedaulatan secara damai seperti India, Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan Singapore. Sebagai telah diramalkan oleh S. George negara-negara industri maju segera menawarkan bantuannya, baik dalam bentuk produk, hasil industri, pinjaman modal (loan) atau keahlian teknologi agar ketergantungannya tetap terpelihara. Hubungan demikian sering disebut : “Politically independent and economically dependent”

Pembangunan dan Kemiskinan.
Periode setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia untuk dua dasawarsa penuh dengan kegoncangan politik, dari gerakan DII/TII, APRA, PRRI dan PERMESTA, konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura dan akhirnya dengan Belanda tentang Irian Barat. Ketenangan politik nyatanya baru tercapai setelah peristiwa G-30-S di tahun 1965 dan lahirnya Orde Baru (1966). Memang dibawah pemerintah Bung Karno dan Bung Hatta pernah ada perumusan tentang Pembangunan Nasional 1956-1961, dan kemudian Pembangunan Semesta (1961-1969), tetapi akibat banyak kegoncangan politik praktis tidak ada hasil yang nyata dalam hal menurunkan kemiskinan. 
Selama pemerintahan dibawah Jenderal Soeharto ynag lebih sentralistik ada beberapa usaha yang lebih nyata: pertama pelaksanaan Revolusi Hijau untuk meningkatkan produksi padi dengan mengimpor teknologi baru seperti pupuk kimia, obat-obatan melawan serangga, perbaikan dan perluasan jaringan pengairan dan mekanisasi pertanian. Akibatnya kegiatan di daerah pedesaan meningkat, tetapi sekaligus juga timbul rasionalisasi dalam masyarakat tani. Penanaman padi semakin membutuhkan luas areal sawah, sehingga petani gurem (<0,5 Ha) tersisihkan. Bila tidak menjadi buruh tani diatas tanah sendiri dan bekerja untuk tuan tanah besar, mereka menawarkan tenaganya di sektor informal perkotaan. Sistim panen bersama oleh kaum perempuan (derep) dan memperoleh bagian tertentu dari hasil (bawon) hilang, diganti dengan pemanen bayaran (tebasan).

Jadi revolusi hijau meningkatkan kegiatan di pedesaan serta hasil panen padi sehingga mencpai swa sembada beras (1985), tetapi dipihak lain juga mengurangi pekerjaan bagi buruh tani (tunakisma) dan petani gurem yang terpaksa “mengelaju” ke kota. Gejala Preman, Mang Ogah, Pengemis, Pengamen, Pencopet, Buruh lepas dan sebagainya makin tampak di daerah perkotaan. Perkembangan yang kurang menggembirakan itu menarik perhatian UNICEF juga dan dengan biaya lembaga PBB tersebut Prof. Sajogyo diminta melakukan evaluasi tentang Usaha Perbaikan Gizi Keluarga di tahun 1973/1974. Hasil studi berdasarkan survey luas di 15 Kabupaten seluruh Indonesia yang penting itu melahirkan suatu suatu Garis Kemiskinan untuk penduduk Indonesia. Setelah itu Biro Pusat Statistik dan juga Bank Dunia menyambung dengan survey yang menambah kriteria garis kemiskinan tersebut.
Sekarang beberapa kriteria dapat dimanfaatkan untuk menilai kemiskinan karena Bank Dunia menambah dengan kriteria dibawah USD $ 1,00 / 2,00 sehari per kapita. Biro Pusat Statistik, Departemen dan Bank Dunia mulai mengadakan survey untuk memantau perkembangan tersebut dan dalam rangka inilah juga dimulai studi oleh beberapa Universitas. Kerjasama antara Institut Pertanian Bogor – Institut Teknologi Bandung – dan institute of Social Studies dari Negeri Belanda melakukan studi tentang keadaan dan perkembangan di daerah pedesaan (1987-1991). Peneliti-peneliti ada yang senior seperti Dr. B. White, Dr. Joan Hardjono, Dr. Ines Smith, tetapi juga ada peneliti Indonesia yang muda. Pimpinan ada di tangan tiga ahli: Prof. Sajogyo (IPB-Sosiologi Pedesaan) – Prof. Hasan Poerbo alm. (ITB Lingkungan) dan Prof. B. White (I.S.S. Anthropology) yang sekaligus menjabat Acting Director di kantor Pusat (Jl. Raden Patah 28 Bandung).

Tanpa mengulas semua hasil penelitian selama 1987-1991, tetapi hasil umumnya jelas menunjukkan bahwa daerah pedesaan menghadapi permasalahan seperti Agraria, kemiskinan, pengangguran, usaha kecil dan peranan perempuan yang segera perlu ditangani karena mengurangi penderitaan juga memerlukan waktu yang cukup lama. Ukuran dan definisi kemiskinan memang masih berbeda-beda. Prof. Sajogyo di tahun 1974sudah berhasil merumuskan “garis kemiskinan” berdasarkan nutrisi (pangan per kapita) - ada statistik BPS yang menggunakan “pengeluaran per kapita “ per hari/bulan, sedangkan Bank Dunia berpatokan pada “penghasilan per kapita sehari” (dibawah USD $ 1,00 atau USD $ 2,00). Departemen Pertanian sering menggunakan kriterium “luas tanah garapan” atau “hasil produksi” dan BKKBN pernah menerapkan kriterium “kualitas tempat tinggal”.
Sebenarnya menarik untuk mengkombinasikan beberapa kriteria tersebut. Menurut Prof. R. Lawang (2002) yang mengutip BPS penduduk Indonesia tahun 2001 berjumlah 201.703.537 jiwa (dugaan 2007 sudah melebihi 220 juta) atau 43,12% dan tinggal di perkotaan, sedangkan 56,88% masih tinggal di daerah pedesaan. Memang dari beberapa sumber statistik timbul gambaran bahwa kemiskinan antara 1970-1987 menurun. Misalnya BPS yang menggunakan kriterium “pengeluaran per kapita” menghasilkan gambaran sebagai berikut :

YANG MISKIN DARI JUMLAH PENDUDUK (sample)
Pedesaan Perkotaan
Juta orang % Juta orang %
1976 44,2 40,37 10,0 38,79
1980 32,8 28,42 9,5 29,04
1987 20,3 16,14 8,9 20,14
Dari sample ini tampaknya menurunnya % kemiskinan di perkotaan relatif kurang cepat dibandingkan dengan di pedesaan. Mungkin ini hasil produksi yang meningkat selama Revolusi Hijau. Menurut alm. Dr. Hendra Esmara, kemiskinan antara 1970 dan 1987 memang menurun untuk Pedesaan dari 48,5% sampai 44,8%, tetapi di perkotaan justru meningkat dari 7,1 % menjadi 14,6% atau naik lebih dari 100%, dan ini suatu gejala bahwa urbanisasi memang meningkat cepat. Bila kita kutip Laporan Bank Dunia (1990) dapat dibaca bahwa walaupun penduduk miskin (nasional) antara 1980-1987 turun dari 42,3 juta (28,6%) sampai 30,0 juta (17,4%), namun sebagai diumumkan pemerintah masih ada sekitar 39 juta (17%) yang miskin dewasa ini (2007).
Urbanisasi merupakan jalur pelarian bagi buruh tani dan petani gurem yang dapat menetap di kota atau menjadi pengelaju. Satu contoh adalah hasil studi J. Breman dan G. Wiradi (2005) setelah krisis ekonomi Agustus 1997 juga melanda negeri kita. Ternyata pasang surut kemiskinan masih akan menggejala sehingga memerlukan perhatian lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah, peneliti akademik maupun LSM yang menunjang dan mendorong proses demokratisasi inilah yang juga menjadi tujuan yayasan AKATIGA. Kalangan pemerintah maupun media masa tidak jarang memberitakan bahwa keadaan sudah membaik dibandingkan 1998, karena pertumbuhan ekonomi sudah melampaui sasaran, tetapi ternyata dari berita-berita internasional bahwa pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung pada penurunan kemiskinan. Bukan saja hal ini kita alami di negeri kita tetapi juga diberitakan antara lain di terbitan mingguan Newsweek (2007).
Baik di India yang pertumbuhan ekonominya mencapai 8% setahun dan di RRC yang selama satu dasawarsa mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi 10% setahun kemiskinan di daerah pedesaan masih menggejala. Untuk para pembaca yang tertarik dan masih memperihatinkan kemiskinan dalam proses Reformasi negara kita dilampirkan daftar sejumlah terbitan mengenai kemiskinan dan usaha memeranginya. Kebijakan pembangunan Indonesia sebagai negara agraris memang kurang membenahi struktur agraria dalam arti luas, dan lebih cenderung menjual kekayaan sumberdaya alam (M. Humpreys dkk, 2007), yang berakibat pertanian mengurangi kedaulatan pangan, timbulnya kemiskinan dan pengangguran serta penjualan tenaga kerja murah meningkat. Pada umumnya modal asing yang ditanam atau dipinjam lebih bersifat “padat modal” sehingga kesempatan kerja pun terbatas.
Jadi bila kita masih ingin mewujudkan keadilan dan pemerataan nasional, penguasaan dan akses terhadap sumberdaya alam, ialah bumi, air dan ruang angkasa (lingkungan) harus diatur lebih merata pula. Mari kita perangi Kutukan Sumberdaya Alam !!
Penulis adalah anggota badan pembina Yayasan AKATIGA

DAFTAR BACAAN :
Demokratisasi dan Kemiskinan
Bandung, Jurnal AKATIGA, Vol. 7 No.2 Juni 2002.
Menegaskan kembali Konteks Pembangunan Agraria.
Bandung, Jurnal AKATIGA, Vol. ………….
Perempuan, Kemiskinan dan Pengambilan Keputusan
Bandung, Jurnal AKATIGA, Vol. 8 No.2, Oktober 2003
Tantangan Masa Depan Pertanian Indonesia.
Bandung, Jurnal AKATIGA, Vol. 11, No.1 April 2006
Micro Finance dan Penanggulangan Kemiskinan.
Bogor, Komite Penanggulangan Kemiskinan.
Sarasehan Nasional IPB-CRESCENT-Partnership for Governance Reform.
Gambaran Tentang Kemiskinan di Tingkat Masyarakat.
Jakarta, Departemen Pemukiman dan Perencanaan Wilayah.
Kebijakan Pertanahan untuk Mengurangi Kemiskinan.
Jakarta, LPEM-FEUI, PSP-IPB dan PSE-KP UGM.
Laporan Akhir.
Tanah, Buruh dan Usaha Kecil dalam Perubahan.
Kumpulan Hasil Penelitian AKATIGA
Bandung, AKATIGA.
GEORGE , Susan (1976)
How the Other Half Dies ; The Real Reason for World Hunger.
Middlesex, Penguin Books.
LIU, Melinda (2007)
“Mao to Now ; A 30-year Journey ; China 2008
Hongkong, News week, December 31, 2007/January 7 , 2008.
MOORE, Mick (1999)
“Thinking Strategically about Politics and Poverty”
Sussex, IDS.
MUBYARTO (1993)
Tantangan Masalah Kemiskinan di Indonesia
Bogor, CIDES.
MYRDAL, Gunnar (1971)
The Challenge of World Poverty; A World Anti-Poverty Programme in Outline.
Middlesex, Penguin Books.
SAJOGYO (ed. 1991)
Kumpulan Sumbangan Makalah Tentang Penanggulangan Kemiskinan (Semiloka Nasional).
Bogor, Fakultas Pertanian IPB.
Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (Hasil Survey Nasional)
Bogor, IPB-UNICEF.
SIMATUPANG, Pantjar (2004)
“Mengurangi Kemiskinan dengan Produktivitas Pertanian”
Bogor, PSP-IPB
SMITH, Ines (19…..)
TAWNEY, Richard H. (1938)
Religion and the Rise of Capitalism
Australia, Penguin Books.
THE WORLD BANK (1990)
Indonesia, Strategy for a Sustained Reduction in Poverty. AWB Country Study
Washington, DC, 1990.
TJONDRONEGORO, Sediono M.P. (1997)
Rural Development and Poverty Eradication
Kuala Lumpur, ASEAN.

First ASEAN Senior Officials’ Meeting.
“Growth, Equity and Poverty Reduction
Bogor, CESS.

Tuesday, May 3, 2011

Kekacauan Moralitas Menumbuhkan Semangat Kemiskinan Nasional

Oleh : Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro

Guru Besar Emeritus Sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB)

Indonesia sejak zaman dahulu dikenal dengan kekayaan alam yang berlimpah. Kedatangan bangsa Eropa pada awal abad pertengahan untuk berburu rempah-rempah dan hasil bumi merupakan salah satu buktinya. Bahkan, beberapa negara Eropa tidak sekadar berdagang tetapi juga menjajah negeri ini. Tujuannya jelas, yakni untuk mendapatkan hasil bumi dan kekayaan alam dengan cuma-cuma bagi kemakmuran mereka sendiri.
Setelah berhasil melepaskan diri dari penjajahan, sumber daya alam (SDA) tersebut seharusnya membuat bangsa Indonesia sejahtera. Pada kenyataannya, negeri yang digambarkan sebagai zamrud khatulistiwa ini belum berhasil mengangkat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Lebih dari setengah abad merdeka, justru terjadi kesenjangan yang sangat lebar antara si kaya dan si miskin. Media massa hampir setiap hari mengabarkan bagaimana si miskin tertatih-tatih mencari sesuap nasi untuk hari ini di tengah glamour kehidupan si kaya. 


“Kekacauan yang terjadi sekarang, menurut saya adalah terjadinya pergeseran budaya dan pemikiran. Karena yang terjadi di masyarakat, modal dasar kita adalah sumber daya alam sementara modal pemikiran adalah adat dan Islam. Tetapi akibat modernisasi membawa individu menyimpang dari kebersamaan sehingga terjadi pacu individualisme. Tidak heran tumbuh NII, karena memang tatanan masyarakat sekarang ini sudah kacau akibat kekacauan moralitas. Saya memang tidak membenarkan tetapi secara sosiologis bisa menjelaskan kenapa semua itu terjadi,” kata Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro, Guru Besar Emeritus Sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB).


Padahal, lanjut mantan anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) ini, kemerdekaan republik ini diperjuangkan dengan keringat, darah dan nyawa bangsa Indonesia. Tidak selayaknya, pemerintah membiarkan rakyat menderita dalam kemiskinan dan tidak berhak menikmati kesejahteraan sebagai berkah kemerdekaan.
Dalam pandangannya sebagai sosiolog, Prof. Tjondro melihat bangsa Indonesia tidak pandai dalam memanfaatkan luasnya wilayah yang dimiliki. Ia mencontohkan, 4 juta hektar lahan yang ditanami kelapa sawit dikuasai oleh pengusaha asal Malaysia. Parahnya lagi, mereka mengolah kepala sawit hasil panen dari Indonesia di negerinya sehingga Malaysia menjadi penghasil CPO (crude palm oil) nomor wahid di dunia. 


“Malaysia memang memiliki teknologi yang baik dalam pengembangan kelapa sawit. Itu yang membuat hasil produksi perkebunan kelapa sawit mereka sangat bagus. Sementara petani kita yang kurang pengetahuan merawat kebunnya sekadarnya saja sehingga hasilnya pun tidak maksimal. Belum lagi, luas lahan 60 persen petani sekarang hanya kebagian 0,5 hektar dan 20 persen di antaranya bahkan tidak memiliki tanah pertanian. Idealnya, seperti yang telah disepakati oleh founding fathers kita tahun 60-an, UUP Agraria 1960. Salah satu peraturannya di seluruh Indonesia ada perimbangan jumlah penduduk dengan luas tanah yang bisa dikuasainya. Di Jawa minimal 2 hektar dan maksimal 5 hektar per KK dan berlaku untuk siapapun,” ujar Ketua Dewan Penyantun Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta ini (Ref. UU No.56/1960).


Prof. Tjondro sangat mengkhawatirkan ketersediaan stok beras nasional akan senasib dengan impor gandum yang mencapai 90 juta ton. Bulog sebagai punggawa dan penjaga ketersediaan beras nasional, harus melakukan impor beras. Stok beras nasional semakin menipis tanpa adanya penambahan cadangan bahan pangan yang memadai. Semua masalah tersebut, timbul karena petani tidak memiliki lahan pertanian yang memadai. “Tetapi, kalau menuntut tanah akan dikatakan ditunggangi PKI atau BTI. Intinya karena kekurangan tanah garapan, ketahanan pangan juga kurang. Sekarang bahkan malah ada sawah yang ditanami komoditas lain seperti mangga dan bukan padi. Saya tidak melarang orang menanam apa saja, tetapi kalau pemerintah ingin mempertahankan ketahanan pangan, lahan persawahan atau pertanian harus terus dipelihara,” ungkap mantan Ketua Umum Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) ini. 


Prof. Tjondro yang mengalami sendiri zaman sulit penuh tantangan dan kekurangan rupanya mempengaruhi perhatian dan jalan pikirannya. Riwayat kerja di luar universitas menunjukkan hal itu. Sebagai konsultan Social Development  Division, UNO Bangkok, menulis “Social Survey of The Region” untuk Asian Development Bank Manila, mengenai Kemiskinan, untuk Bank Dunia juga tentang Agraria dan Kemiskinan serta PNPM. 
Disiplin Kurang
Menurut Prof. Tjondro, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara sistem pendidikan dahulu dengan sekarang. Pendidikan di zaman dahulu mengkader calon pendidik dengan sangat baik. Para calon guru melalui pendidikan khusus sejak awal sehingga terbentuk karakter kuat sebagai pendidik yang tidak sekadar mengajar. Sementara sekarang, seorang guru tidak harus memiliki latar belakang profesi yang sesuai untuk pendidikan.
“Saya tidak bisa membandingkan, yang jelas mereka harus menjaga kualitasnya. Kalau saya lihat anak dan cucu saya sekarang, sepertinya mereka kurang disiplin. Sekarang rasanya tidak ada keteraturan, ketertiban dan kedisiplinan. Kalau mengenai isi saya tidak dapat membandingkan karena hanya sekadar dengar saja. Dahulu guru-guru keluaran pendidikan khusus, Kweek School yang merupakan program mendidik dan membina untuk menjadi guru. Sekarang saya tidak tahu, guru kadang tidak memiliki latar belakang yang sesuai untuk pendidikan,” ujarnya. 


Prof. Sediono MP Tjondronegoro mengisahkan perjalanan pendidikannya di zaman kolonial Belanda dan Jepang. Sekolah dasar atau Europesche Lagere School dilalui pada zaman Belanda di Rembang, Purwokerto dan Tegal mengikuti tugas sang ayah. Tidak heran, ia menguasai bahasa Belanda yang digunakan sebagai bahasa utama di sekolah dasar. Sebelum PD II meletus, ia menempuh pendidikan Hogere Burgershool (HBS) di Malang. Namun, ketika Jepang masuk dan menguasai Indonesia tahun 1942, semua sekolah ditutup. 


“Dari Malang, saya kemudian masuk sekolah SMP Jepang di Prapatan, Jakarta. Berbeda dengan sekolah Belanda, sekolah Jepang ditambah dengan pelatihan militer yang dilaksanakan di Lapangan Merdeka atau Monas sekarang. Saat tempat pemondokan selama di Jakarta, yakni oom saya pindah ke Surabaya tahun 1943, saya juga mengikutinya. Karena di Jakarta saya adalah komandan regu Gakutotai, maka di SMP Ketabang Surabaya juga menjadi komandan pada kesatuan militer tingkat SMP tersebut,” kenangnya.
Saat di Surabaya, isu-isu kekalahan militer Jepang mulai santer terdengar di Indonesia. Informasi yang didapat kaum pergerakan rahasia sosialis dibawah Syahrir, Sudjatmoko, Sudarpo dan lain-lain, dengan cepat menyebar di kalangan generasi muda. Para pejuang pergerakan berpaham sosialis tersebut dengan gigih mendekati pasukan pelajar untuk sewaktu-waktu bergabung dalam perjuangan. Setidaknya, dengan merangkul pasukan pelajar akan menambah kekuatan perjuangan terkait minimnya pejuang dengan kekuatan militer di kalangan rakyat Indonesia. 


Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan Soekarno – Hatta, Prof. Tjondro bergabung dengan BKR, TKR Pelajar dan TRIP (1945) sebagai Komandan Peleton di Surabaya. Ia terlibat dalam pertempuran di Jembatan Merah Surabaya, tanggal 10 November 1945 menghadapi batalyon Gurkha, tentara Inggris hingga terbunuhnya Jenderal Mallaby. Terbunuhnya salah satu petingginya tersebut membuat tentara Sekutu mengamuk dan membombardir pasukan RI. 


Tentara TKR dan TRIP perlahan-lahan mulai terdesak serta mundur dari Surabaya, menuju Sidoarjo dan Mojokerto. Dalam sebuah pertempuran sengit, Prof. Tjondro tertermbak dan dirawat di rumah sakit Gatul, Mojokerto. Luka-luka yang diakibatkan tembakan membuat tangannya cacat permanen. Direktur rumah sakit tersebut adalah keluarga pejuang dari Aceh, Dr. Syarif Thayib yang kemudian menjadi Menteri Pendidikan RI.
Setelah sembuh, Prof. Tjondro hanya membantu pasukan di garis belakang. Memasuki tahun 1948, ia dibebastugaskan dari TRIP agar bisa kembali ke bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta.  Situasi dan kondisi keamanan yang masih bergolak membuat sekolahnya menjadi “unik”. Di mana pada masa tersebut, ada larangan untuk berkumpul dengan jumlah lebih dari lima orang. Tidak heran, saat itu sekolahnya terpencar-pencar dalam kelompok lima orang akibat Belanda menyatakan keadaan darurat, SOB (Darurat Militer).
“Karena kami sekolah ‘gelap’ sehingga ujian dikirim dari Solo. Setelah itu saya berusaha mencari kerja dan tidak pernah memimpikan untuk terjun ke dunia pendidikan. Dulu, saya ingin menjadi perwira AL karena didikan militer sudah tertanam di dalam diri saya. Apalagi keluarga juga banyak berkarier di militer. Kakak saya seorang CPM, adik saya perempuan menikah dengan Kolonel TNI AL. Pokoknya, dunia militer mendarah daging di keluarga,” ungkapnya. 


Namun, Prof. Tjondro harus melupakan mimpinya untuk menjadi seorang Perwira TNI AL. Cacat permanen pada salah satu bagian tubuhnya telah menggugurkan kesempatannya di dunia militer, meskipun ia mantan pejuang kemerdekaan. Saat itu, pemerintah Belanda menawarkan kepada mahasiswa Indonesia untuk belajar di Negeri Tulip tersebut. Yakni setelah RI – Belanda berdamai, tahun 1949 dibuka kesempatan mengikuti pendidikan Universitas maupun akademi militer. 


Berkat bantuan sukarelawan Belanda, Prof. Lenshoek -teman sekolah ayahnya yang menjadi dokter sukarelawan di RS Cikini- ia berhasil dikirim ke negeri Belanda. Ia berangkat bersama 30 mahasiswa lainnya asal Indonesia yang masuk perguruan tinggi tanpa harus mengikuti tes. Ia belajar Ilmu Sosial dan Politik di Universitas Amsterdam selama sepuluh tahun. 


Lamanya pendidikan disebabkan kondisi sosial politik antara pemerintah Belanda dan RI yang selalu bergolak. Meskipun demikian, ia sempat menjadi asisten Professor Wertheim, seorang guru besar yang pernah mengajar (1930-an) Fakultas Hukum di Hindia Belanda dan sejak tahun 1950-an memimpin Lembaga Penelitian Asia Tenggara Universitas Amsterdam. 


“Saya lulus doktorandus tahun 1961 dan sempat terkatung-katung. Hubungan  politik yang memburuk antara kedua negara membuat seluruh mahasiswa Indonesia harus keluar dari Belanda (1958). Tadinya sudah ingin ke London atau Amerika untuk melanjutkan pendidikan, tetapi pemerintah kurang dana. Berkat pertolongan Prof. Wertheim, saya tetap di Belanda karena saya bekerja sebagai asistennya. Kan yang disuruh keluar RI hanya mahasiswa bukan pekerja akademis. Belanda tidak bisa begitu saja mendeportasi saya karena mereka sejak dahulu taat hukum,” ujarnya. 


Menjadi Mata-mata
Pengumpul informasi untuk ATMIL di KBRI Jerman, Inggris dan lain-lain.
Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro telah berjuang sejak zaman kemerdekaan. Keikutsertaan dalam perang kemerdekaan melawan penjajah, sudah dijalani saat usianya masih  sangat muda, 17 tahun. Ia adalah pejuang kemerdekaan yang tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) di Surabaya, setelah Proklamator Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan. Akibat pertempuran, ia mengalami cacat permanen yang mengharuskan dirinya melupakan impian menjadi seorang marinir (TNI AL).


Sosok satu ini, juga berperan penting dengan meyakinkan pelajar Papua di Belanda tentang pembebasan Irian Barat (Papua) dari cengkeraman penjajah Belanda. Meskipun tidak terlibat langsung dalam pertempuran, dengan memberikan informasi tentang politik dan pergerakan musuh sangat berguna bagi pemerintah RI dan tentara republik. Posisinya sebagai mahasiswa di negeri Belanda saat itu memungkinkan dirinya bersama Kwik Kian Gie, Samadikun dan lain-lain, bebas bergerak dan melaporkan kegiatan militer Belanda di tanah Papua. Sebagai asisten Prof. DR. W. F. Wertheim, Kepala Pusat Studi Asia Tenggara, Universitas Amsterdam cukup kebebasan baginya untuk mencari  informasi.


“Kami ‘menyadap’ informasi dari tentara Belanda yang datang atau berangkat ke Papua. Semua informasi kami kirimkan melalui Atmil-atmil ke pemerintah pusat, yang mengolahnya untuk mengetahui posisi pasukan Belanda di sana. Dari informasi yang kami berikan, pasukan kita mengetahui di mana posisi radar tentara Belanda, konsentrasi pasukannya dimana dan lain-lain,” ungkapnya. 


Mahasiswa Indonesia, lanjutnya, saat itu dikekang kebebasannya di negeri Bunga Tulip tersebut. Ia dan teman-temannya bahkan tidak diizinkan untuk mengakses peta Papua di perpustakaan universitas dan kampus. Keberadaan mereka diawasi dengan ketat oleh intelijen Belanda untuk mencegah penggalangan dukungan terhadap bergabungnya Papua ke pangkuan Republik Indonesia. Namun, berkat kelihaian Prof. Tjondro yang terlatih dalam pergerakan bawah tanah, gerak-gerik mahasiswa Indonesia di Belanda sebagai “mata-mata” tidak terdeteksi. 


“Selain berhasil menyadap informasi dari tentara Belanda, kami juga sukses mendekati pemuda Papua yang disekolahkan pemerintah Belanda. Lewat Persatuan Pelajar Indonesia atau PPI, kami mengajak mereka bergabung menjadi WNI dan mendukung perjuangan Indonesia. Bahkan, kami berhasil mengajak dua atau tiga orang mengganti passport mereka menjadi WNI di Bonn. Kami juga berhasil membina para calon Domine asal Papua untuk mengakui Indonesia. Akhirnya tahun 1960, terjadi penyerahan Papua ke pangkuan Indonesia dari pemerintah Belanda,” ujarnya. 


Ketika akhirnya pertempuran berakhir pada tahun 1963, Prof. Tjondro pulang ke tanah air. Setibanya di tanah air, ia mendapat tawaran untuk mengajar di Universitas Gajah Mada atau Institut Pertanian Bogor. Pemikirannya yang menglobal membuat dirinya memilih IPB sebagai tempat mengabdi.
“Bogor kan dekat dengan Jakarta sehingga memudahkan saya menghubungi pemerintah pusat maupun pergi ke luar negeri untuk mengikuti seminar, lokakarya ilmiah dan lain-lain. Karena saya hidup di luar negeri sekitar 20 tahun, yakni di Belanda dari tahun 1950 – 1963 atau selama 13 tahun. Kemudian saya juga belajar dan bekerja di berbagai negara seperti di Singapura selama satu tahun, London -  Inggris, Bangkok – Thailand, Madison – USA, Manila – Filipina dan Rotterdam, Belanda,” tegasnya. 


Tiga tahun setelah bertugas menjadi dosen IPB, Prof. Tjondro dikirim ke Amerika untuk melanjutkan kuliah. Ia melanjutkan pendidikan pascasarjana di University of Wisconsin, Madison selama dua tahun (1966-1968). Saat itu, memang terjalin kerjasama antara Amerika dan Indonesia dalam pendidikan. Sepulang dari Amerika, ia mengajar di Fisipol UI Jakarta selama dua tahun (1969-1971).  Prof. Tjondro berhasil meraih gelar DR. Sosiologi dengan predikat cum laude di Universitas Indonesia. 


Biodata Prof. DR. Sediono MP Tjondronegoro Pendidikan
  1. Europesche Lagere School, Rembang (1934), Purwokerto (1934-1939) dan Tegal (1940-1941)
  2. Hogere Burgerschool, Malang (1941-1942)
  3. Sekolah Menengah Pertama Prapatan, Jakarta (1942-1943)
  4. Sekolah Menengah Pertama Ketabang, Surabaya (1943-1944)
  5. Sekolah Menengah Tinggi, Surabaya (1944-1945)
  6. Sekolah Menengah Tinggi, Jakarta (1947-1948)
  7. Politiek Sociale Faculteit Universiteit Amsterdam, Amsterdam (1950-1961)
  8. Graduate School, University of Wisconsin, Madison, Wisconsin (1966-1968)


Karier
  1. Dosen Fakultas Pertanian IPB Bogor (1963-1996)
  2. Dosen FISIPOL UI (1969-1971)
  3. Anggota MPR RI (1992-1997)


Kegiatan
  1. Anggota Team Peneliti Menteri Ristek Prof. Soemitro (1982-1983)
  2. Asisten Menteri V Ristek Prof. Habibie dan Sekretaris Dewan Riset Nasional (1984-1996)
  3. Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) 1990 – sekarang
  4. Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI (2004-2008)
  5. Wakil Ketua AIPI (2008-2013)
  6. Konsultan UNO – ECAFE Bangkok (1972)
  7. Director Transmigration Training and Research Center, Departemen Transmigrasi, Koperasi dan Tenaga Kerja (1974-1976)
  8. Menduduki “Jan-Tinbergen Leerstoel” (chair) (Kedudukan Kehormatan Guru Besar pemenang Hadiah Nobel) Universitas Erasmus di Rotterdam (1981)
  9. Konsultan ADB Manila untuk Kemiskinan dan Transmigrasi Konsultan World Bank untuk masalah agrarian (1979)
  10. Anggota MPR RI (1992-1997)
  11. LSM: Yayasan AKATIGA Bandung, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria Bandung – Jakarta, dan Lembaga Pengkajian Pertanahan Indonesia Jakarta (1992-1997)
  12. Ketua Dewan Penyantun STPN Yogyakarta (2009)
  13. Penasehat Yayasan Bina Desa Jakarta
  14. Pembina Yayasan Padi Mandiri Bogor
  15. Pendukung Kerukunan Pensiunan Agraria/Pertanahan Jakarta


Himpunan Profesi
    1. Anggota Senior/Mantan Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia
    2. Anggota Pendiri Yayasan Sajogyo Institute, Bogor
    3. Mantan Presiden International Rural Sociology Association

Monday, May 2, 2011

Pemerintah Pandang Angka Kemiskinan sekadar Program


Hendri Saparini

JAKARTA: Pemerintah dinilai sangat mungkin me-recall target angka kemiskinan. Pasalnya, angka kemiskinan hanya sebatas peningkatan anggaran program dan belum menjadi kebijakan.

“Sangat mungkin pemerintah me-recall bahwa target angka kemiskinan itu bisa tercapai. Karena yang bisa menghitung angka kemiskinan itu hanya BPS (badan pusat statistik),” ujar ekonom Econit Hendri Saparini yang ditemui di Jakarta, Rabu (27/4).


Menurutnya penghitungan angka kemiskinan tidak akan bisa dilakukan siapapun kecuali BPS mau membuka data mentahnya. ” Tapi kan selama ini tidak begitu,” tukasnya.
Ia lantas mempertanyakan apakah orang yang ada di bawah garis kemiskinan itu bertambah atau tidak? “Itu mungkin atau sangat mungkin itu tidak,” kata wanita bergelar doktor bidang ekonomi tersebut.
“Karena kalau orang mendekati miskin itu logikanya 70 persen pengeluarannya adalah untuk makanan. Sementara makanan kemarin inflasinya mendekati 16 persen. Jadi daya beli mereka kan menurun, gitu kan? Jadi semestinya begitu,” lanjutnya.
Namun, ujar Hendri, angka kemiskinan tidak lebih dari sebuah potret. Dan gambaran kemiskinan tergantung dari sebelah mana parameter yang mau dipotret.
Ia berpendapat jika Pemerintah hanya melakukan program pengentasan kemiskinan. Padahal, lanjutnya, yang perlu dilakukan di Indonesia adalah kebijakan pengentasan kemiskinan.
“Kalau program itu hanya dihitung berapa sih anggaran yang sudah dialokasikan untuk program pengentasan kemiskinan, untuk raskin, untuk BOS, dan sebagainya. Jadi kalau anggaran sudah semakin besar seolah-olah program upaya pengentasan kemiskinannya itu meningkat. Tapi kebijakan pengentasan kemiskinan itu tidak dilakukan,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia berpendapat jika pemerintah harus melakukan koreksi angka kemiskinan. Sebab, kenyataannya, program pengentasan kemiskinan tidak benar-benar mengurangi tingkat kemiskinan. (*/OL-2)



Media Indonesia

Sunday, April 24, 2011

Program MDGs Terintegrasi Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi


Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno dan Ketua Umum IWAPI Nita Yudi, usai penandatanganan kerjasama. Telkomsel merangkul IWAPI untuk menggelar Program MDGs yang terintegrasi berbasis ICT dan juga program kesetaraan gender melalui kegiatan pendidikan.


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Memperingati hari bumi sedunia dan menuju pencapaian Millennium Development Goals (MDGs) Indonesia 2015, Telkomsel menggelar program MDGs yang terintegrasi berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Targetnya, meningkatkan kesehatan masyarakat, mengurangi tingkat kemiskinan, dan melestarikan lingkungan hidup melalui pemberdayaan masyarakat.

Indonesia sebagai bagian dari 189 negara telah menyepakati Deklarasi Milenium berisikan sasaran pembangunan milenium (MDGs). Pemerintah menetapkan delapan program MDGs sebagai target pencapaian kesejahteraan bangsa hingga tahun 2015 sejak deklarasi tersebut disepakati tahun 2000 lalu.

Telkomsel sebagai bagian dari elemen negeri ini mendukung dan mengimplementasikan Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 2010 tentang program pembangunan yang berkeadilan, termasuk pencapaian tujuan program MDGs.

Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno menyatakan, "Sebagai perusahaan yang mengedepankan kemajuan bangsa, Telkomsel berharap dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui program MDGs yang akan diimplementasikan hingga tingkat kelurahan dengan berbasis ICT."

Sebagai bentuk dukungan tersebut, Telkomsel akan melaksanakan kegiatan corporate social responsibility (CSR) MDGs mencakup peningkatan akses air bersih dan sanitasi  berkonsep ramah lingkungan dengan menggunakan energi alternatif solar cell sebagai pembangkit listrik (Pilar MDGs 1), pendidikan kesetaraan gender dan kewirausahaan bagi perempuan agar perempuan di pedesaan lebih maju dan menjadi motor penggerak ekonomi keluarga (Pilar MDGs 3), peningkatan kesehatan ibu dan peningkatan kualitas gizi anak dengan konsep rivitalisasi Posyandu (Pilar MDGs 5), serta kelestarian lingkungan hidup terintegrasi dengan
konsep tata kelola sampah menjadi alternatif untuk meningkatkan ekonomi masyarakat (Pilar MDGs 7). Pelaksanaan empat Pilar MDGs tersebut akan dilakukan secara terintegrasi dalam satu titik wilayah program tingkat kelurahan yang akan dilakukan di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi pada kuartal 3 tahun 2011 dalam program CSR Telkomsel 2011-2012.

Program MDGs terintegrasi tentunya akan dikemas dengan memanfaatkan core business Telkomsel yang berbasis ICT melalui program Semangat Pemberdayaan Masyarakat Indonesia Tangguh (SPIRIT). Sebagai langkah awal, Telkomsel merangkul Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) sebagai motor program kesetaraan gender melalui kegiatan pendidikan dan kewirausahaan bagi para ibu dan wanita muda. Penandatanganan memorandum of understanding (MoU) antara Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno dan Ketua Umum IWAPI Ir. Nita Yudi, MBA diselenggarakan di Wisma Mulia, Jakarta, hari ini (21/4).

Mengoptimalkan kemampuan IWAPI di bidang usaha, para wanita di tiap lokasi pelaksanaan akan dibekali pengetahuan dasar wirausaha melalui kader IWAPI di Indonesia. Di sisi lain, untuk mempermudah komunikasi dua arah dalam pelaksanaan program dengan masyarakat, Telkomsel akan mempersiapkan sekretariat SPIRIT MDGs di setiap lokasi kegiatan program beserta perangkat software database untuk komunitas masyarakat tersebut.

Upaya ini secara tidak langsung akan meningkatkan pendidikan ICT kepada masyarakat. Ke depannya Telkomsel akan membangun website portal MDGs Telkomsel, sehingga setiap lokasi pelaksanaan yang berada di suatu kelurahan di empat area Telkomsel di Indonesia dapat terhubung melalui website yang berbasis aplikasi WAP untuk ponsel.

Sebelum penandatangan MoU, terlebih dahulu digelar diskusi panel dengan tema "Upaya Meningkatkan Lingkungan Sehat & Mandiri Melalui Program MDGs Terintegrasi Berbasis ICT". Hadir sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Nila Moeloek, sebagai utusan khusus Presiden RI untuk Program MDGs, Ketua Umum Asosiasi Profesi CSR dan Ketua Umum Pergizi Pangan Indonesia Prof. Dr. Hardinsyah, Staf Khusus Presiden Bidang Lingkungan Agus Purnomo, Wakil Ketua MPRRI Melani Leimena Suharli, Ketua Umum IWAPI Ir. Nita Yudi, MBA, dan Deputy VP Corporate Secretary Telkomsel Aulia E. Marinto.

Program MDGs SPIRIT Telkomsel ini merupakan bagian dari bentuk pertanggung jawaban sosial Telkomsel kepada masyarakat Indonesia. Kegiatan berkelanjutan CSR Telkomsel ini menerapkan empat pilar program MDGs ke dalam satu kegiatan. Dengan pola terintegrasi itu, dukungan Telkomsel tersebut diharapkan dapat membantu percepatan pencapaian MDGs 2015 Indonesia. Telkomsel berkomitmen untuk membangun dan memajukan Indonesia, karena Telkomsel hadir untuk Indonesia. Telkomsel Paling Indonesia.

Tuesday, March 29, 2011

Foto : Rarindra Prakarsa

Perkumpulan Prakarsa bekerja sama dengan berbagai pihak (pemerintah, masyarakat sipil Indonesia, donor dan sponsor) akan mengadakan Konferensi Prakarsa 2011 : PEMBIAYAAN MDGs UNTUK INDONESIA: BAGAIMANA MENCAPAI TARGET 2015?


Konferensi ini dimaksudkan untuk memfasilitasi pembelajaran dan pertukaran pengetahuan diantara stakeholder kunci bagi penyusunan rekomendasi strategi kebijakan pembiayaan MDGs dan pencapaiannya.


Mengawali aktivitas konferensi yang akan diselenggarakan bulan Juni 2011 yang akan datang, maka Perkumpulan Prakarsa kini mengadakan sayembara penulisan ilmiah ( Call for Papers ). 

http://theprakarsa.org/conference2011/

Panitia Pelaksana
Konferensi Prakarsa 2011

d/a Perkumpulan Prakarsa
Jln. Rawa Bambu I Blok A No. 8E
Kel/Kec. Pasar Minggu – Jakarta Selatan 12520 INDONESIA
Ph. +62 21 7811-798
fax. +62 21 7811-897

Monday, February 7, 2011

Task Force - Vaksinasi Hepatitis B dan Pemberian Bantuan di Kupang



 
Indonesian Group Gelar Task Force di Lembata
Lembata – Indonesian Group pada Januari 2011, menggelar Task Force serentak di sejumlah wilayah di Indonesia, yakni di provinsi NTT, kegiatan dilaksanakan di RSUD Lewoleba, Jumat (14/1/2011). Selain di Lewoleba, kegiatan serupa dilaksanankan di Tentena, Kendari dan Yogyakarta. Kegiatan sosial ini berupa vaksinasi hepatitis B yang ditargetkan untuk 3000 jiwa untuk setiap wilayah, pemberian bubur kacang hijau bagi anak-anak, kaos dan pin kepedulian untuk seluruh peserta yang diperkirakan sekitar 12.000 orang.
 
Di Lembata, aksi sosial ini didukung oleh tim dokter ahli dan para medis, dibantu dari dinas kesehatan. Kegiatan dibuka oleh Asisten II Sekkab Drs.Benardus Boli Hipir. Vaksin untuk mencegah hepatitis B ini sangat diperlukan. Negara maju seperti di Amerika pun puluhan ribu warganya meninggal akibat dari terjangkit hepatitis B, penyakit ini menyerang hati penularannya mirip HIV/AIDS yakni melalui transfusi darah dan hubungan seksual. Gejalanya berupa demam selama beberapa hari disertai rasa mual dan letih. Bola mata dan kuku berwarna kekuningan serta air seni berwarna keruh. Vaksin diberikan dalam bentuk suntikan sebanyak 3 kali yakni bulan ke 0, 1 dan 6 dan diulang kembali setelah berumur 5-10 tahun.

Untuk wilayah Indonesia timur seperti Tentena, Kendari dan Kupang, jauh-jauh hari team Indonesian Group telah melakukan koordinasi dengan baik bersama relawan daerah, mengingat medan yang akan dilalui tidak semulus jalan tol di Jakarta. 

Sementara itu Fenty Widyawati selaku Ketua Indonesian Group on MDGs mengungkapkan bahwa aksi sosial ini merupakan bagian dari upaya pencapaian MDGs 2015. Seluruh team selain koordinator dari IG on MDGs  juga melibatkan para mahasiswa sudah berangkat menuju daerah sejak  hari Senin 10 Januari 2011, dan diharapkan dapat melakukan tugasnya dengan baik. (*/amy).

Pos Kupang


Kegiatan Sosial di Kendari

Task Force Indonesian Group on MDGs

                    Vaksinasi Hepatitis B, dan pemberian bantuan bagi masyarakat Tentena

Tuesday, January 25, 2011

Saturday, January 15, 2011

1500 Anak Terdampak Erupsi Merapi Divaksinasi



SLEMAN: Sekitar 1.500 anak terdampak bencana erupsi Merapi, hari ini mendapat vaksinasi Hepatitis B di dusun Cakran Wukirsari Cangkringan. Kegiatan tersebut bertujuan memberikan kekebalan pada anak usia 5-12 tahun terhadap penyakit hati pasca bencana alam.

Koordinator kegiatan vaksinasi dari Indonesian Group On MDGs, Cece mengatakan, penyakit hati penyebarannya sama seperti HIV/AIDS. Dengan vaksinasi hepatitis B tersebut, diharapkan anak-anak lereng Merapi terhindar dari penyakit hati pasca erupsi.

"Anak-anak disini rawan terkena penyakit hati karena habis kena erupsi. Target awal 3.000 anak tapi karena kondisi menjadi setengahnya sebanyak 1500 anak," katanya di sela acara vaksinasi, Kamis (13/1).

Kegiatan yang melibatkan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Bantul tersebut dilakukan selama dua hari yakni Kamis (13/1) dan Jumat (14/1). Berada di 10 titik di Kecamatan Cangkringan dan Ngemplak. Vaksinasi dilakukan oleh tim medis dengan cara suntik.

Kegiatan dilakukan di rumah penduduk dusun Cakran, SD Negeri (SDN) Jambon 1,  SDN Jambon 2, SDN Pencar, SDN Bronggang, SDN Gungan, SDN Banaran, SD Muhammadiyah Cepit, SDN Srunen dan SDN Glagaharjo.

Ketua Indonesian Group on MDGs Fenty Widyawati yang tengah berada di Makassar mengatakan, “Saya berterima kasih kepada seluruh tim Indonesian Group wilayah Yogyakarta yang telah melaksanakan tugasnya dengan baik,” ujarnya seusai melakukan koordinasi pengiriman vaksin Hepatitis B untuk Kendari, Kupang dan Tentena.

(Harian Jogja/Akhirul Anwar)
Foto vaksinasi Anak (Harian Jogja/Akhirul Anwar)





Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Affiliate Network Reviews