Oleh: Nurul Widyaningrum |
Instead
of being a focus for growth and prosperity, the cities have become a
dumping ground for a surplus population working in unskilled,
unprotected and low-wage informal service industries and trade.’ (UN
Habitat 2003, dalam (Davis 2004)
Tulisan
ini akan melihat perkembangan sektor informal dan kawasan kumuh di
perkotaan dalam kaitannya dengan peningkatan jumlah penduduk di
perkotaan serta respon dari kebijakan dan perencanaan kota. Terlihat
bahwa meskipun urbanisasi menjadi semacam hal yang tak terelakkan
(sebagai akibat proses dari berkurangnya kesempatan kerja di pedesaan)
dan meskipun sektor informal mempunyai peranan penting
dalam proses tersebut, kota adalah tempat yang tidak bersahabat bagi
pelaku sektor informal, khususnya pedagang kaki lima, maupun penghuni
kawasan kumuh perkotaan. Terlihat pula bahwa di tengah kebijakan
represif seperti kebijakan ‘tutup pintu’ mapun penggusuran, sektor
informal perkotaan maupun kawasan kumuh masih tidak akan berhenti
tumbuh.
Dunia yang semakin ‘menjadi kota’
Tahun
2007 menandai perubahan penting dalam demografi dunia. Untuk pertama
kalinya pada tahun tersebut diperkirakan populasi penduduk kota akan
melebihi penduduk pedesaan. Para ilmuwan di North Carolina State
University and the University of Georgia University bahkan menyebutkan
tanggalnya: 23 Mei 2007, sebagai tanggal di mana untuk pertama kalinya
jumlah penduduk perkotaan di dunia melebihi penduduk pedesaan (Wimberley
and Kulinowski 2007). Laporan “Limits of Growth”, seperti dikutip oleh
Mike Davis (2004) menyatakan bahwa pada tahun 1950an, hanya ada 86 kota
dengan pendduuk lebih dari satu juta orang. Pada tahun 2015
diperkirakan bahwa 550 kota di dunia akan berpenduduk lebih dari satu
juta orang.
Secara
rinci, laporan dari PBB menyebutkan bahwa populasi penduduk di
perkotaan akan meningkat dari hanya 13% di tahun 1900, menjadi 29% di
tahun 1950, dan mencapai 49% ditahun 2005. Laporan yang sama
memperkirakan bahwa pada tahun 2030, 60% penduduk dunia akan tinggal di
daerah perkotaan (United Nations 2005).
Keadaan
di Indonesia tidak jauh berbeda. Pada tahun 2005, penduduk Indonesia
yang tinggal di wilayah perkotaan diperkirakan mencapai 40% dari total
penduduk telah mencapai 107 juta atau sebesar 48,1% dari seluruh
penduduk Indonesia Padahal, pada tahun 1950 hanya seperdelapan atau
sekira 12,4% penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan. Dari total
penduduk perkotaan tersebut, 23%-nya tinggal di daerah kumuh (slums).
Pada tahun 2001, UN Habitat mencatat bahwa Indonesia mengalami
pertumbuhan penduduk perkotaan sebesar 4% per tahun dan pertumbuhan
kawasan kumuh sebesar 1% per tahun (UN Habitat 2008). Barangkali tidak
terlalu menjadi persoalan apabila pertumbuhan tersebut merata atau
terjadi pada banyak kota, akan tetapi di Indonesia, pertumbuhan tersebut
terpusat pada beberapa kota saja. Pada tahun 2007 ini tercatat beberapa
kota yang memiliki jumlah penduduk di atas satu juta terutama
terkonsentrasi di pulau Jawa, lebih khusus lagi yaitu Jakarta dan area
sekitarnya (Bekasi, Depok, Tangerang). Kota-kota lain yang memiliki
penduduk di atas satu juta adalah Bandung, Semarang, Surabaya, Medan,
Semarang, Palembang, Makassar (Brinkhoff 2008)
Implikasi dari Urbanisasi
Banyak
implikasi yang akan muncul dari pertumbuhan tersebut. Implikasi yang
paling jelas adalah meningkatnya kebutuhan akan sarana dan prasarana
dasar, seperti air bersih, sekolah, fasilitas kesehatan, dan pemukiman.
Fenomena urbanisasi di daerah sekitar Jakarta kemudian mendorong
munculnya berbagai kompleks perumahan. Bagi mereka yang kurang
beruntung, pilihan jatuh pada kawasan-kawasan kumuh seperti bantaran
kali atau pinggiran rel kereta, atau tinggal berdesak-desak di kawasan
kumuh lainya. Seringkali pertumbuhan kota yang tidak terencana ini
tidak diimbangi dengan peningkatan sarana dan prasarana dasar seperti
tadi, sehingga penduduk miskin perkotaan sering mengalami kekurangan
akan fasilitas dasar tersebut.
Migrasi
ke kota, baik yang bersifat sirkuler maupun permanen, didasari
keingingan para pelakunya untuk mendapatkan pekerjaan dan pendapatan
yang lebih baik di perkotaan, serta menurunnya kesempatan kerja di
pedesaan baik sebagai akibat menyempitnya lahan pertanian maupun akibat
dari perkembangan teknologi pertanian yang mengurangi ketergantungan
kepada manusia. Penelitian-penelitian mengenai urbanisasi di tahun 70-an
menunjukkan kecenderungan tersebut, meskipun penelitian-penelitian
tersebut juga menunjukkan pentingnya seorang calon migran untuk
mempunyai jaringan (biasanya kekerabatan atau pertemanan ) dari kampung
asal terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan pekerjaan di kota, mereka
yang tidak punya jaringan tersebutlah yang kemudian terjun sebagai
pelacur, atau gelandangan (lihat misalnya kumpulan artikel dalam
(Kuntjoro-Jakti 1986).
Pertumbuhan Sektor Informal Perkotaan
Fenomena
lain yang mengiringi pertumbuhan penduduk perkotaan tersebut adalah
meningkatnya pelaku sektor informal. Kondisi ini muncul karena
kesempatan kerja di sektor formal (terutama sektor industri) tidak dapat
mengimbangi pertumbuhan penduduk di perkotaan.
Untuk
kasus Indonesia belakangan ini, kondisi ini diperparah dengan
menurunnya kinerja sektor industri – terutama industri tekstil dan
produk tekstil (TPT) yang menyerap banyak tenaga kerja. Ilustrasi
untuk persoalan ini terlihat pada penurunan industri TPT di Penelitian
Akatiga tentang menurunnya kinerja pusat industri TPT di Indonesia,
yaitu Kabupaten dan Kota Bandung serta Kota Cimahi di Jawa Barat.
Tabel 1
Perusahaan yang Melakukan PHK Massal
Tahun Jumlah kasus Jumlah Pekerja
2003 19 6566
2004 23 6640
2005 17 4337
2006 12 102
Sumber: Disnaker Kab. Bandung
Terdapat dua pola dampak dari PHK tersebut:
PHK
menyebabkan peningkatan jumlah pelaku di sektor informal. Di satu sisi,
sektor ini memang relatif lentur dalam menyerap tenaga kerja, tetapi di
sisi lain kebanyakan jenis usaha di sektor ini tidak dapat memberikan
penghidupan yang layak dan rentan terhadap guncangan baik dari dalam
maupun luar pelaku. Sektor perdagangan kecil makanan misalnya, lebih
mudah terpukul akibat peningkatan harga sembako.
PHK
menyebabkan migrasi balik ke desa, sementara peluang kerja di desa
sendiri juga terbatas selain sebagai buruh tani atau pekerja di sektor
usaha kecil. Misalnya, pejabat desa Cikancung menyebutkan terjadi
peningkatan jumlah orang miskin karena kembalinya buruh-buruh yang di
PHK ke desa, sementara peluang kerja di desa itu sendiri hanya terbatas
pada pekerjaan sebagai buruh tani atau buruh di usaha-usaha tenun bukan
mesin.(Catatan Lapangan 2007)
Berbagai
penelitian telah menujukkan peranan sektor informal ini , yaitu
terutama sebagai pencipta lapangan kerja, penyerapan tenaga kerja yang
tidak terserap di sektor formal, dan bahkan menjadi penghubung dari
sektor formal (misalnya, pedagang asongan dan warung pinggir jalan
adalah tempat penjualan produk-produk sektor formal seperti rokok,
minuman kemasan, maupun majalah dan koran (Ramli 1992). Portes dan
Hoffman (2003), seperti dikutip Davis (2004) menunjukkan bahwa pelaku
sektor informal tidak lagi dapat dikaitkan begitu saja dengan
kemiskinan, karena sebagian dari mereka adalah pemilik usaha yang
independen.
Bagaimana Respon (Pemerintah) Kota dalam Menghadapi Sektor Informal?
Kebijakan
pemerintah kota-kota di Indonesia, terutama kota besar seperti Jakarta,
Surabaya, dan Bandung, pertama-tama, adalah memberlakukan kebijakan
“pintu tertutup” bagi pendatang baru, khususnya yang dianggap tidak
punya modal atau jaminan akan pekerjaan. Kebijakan ini dilakukan dengan
memberlakukan persyaratan yang cukup rumit untuk memperoleh KTP
misalnya , melakukan sweeping terhadap kantong-kantong daerah yang
dianggap kumuh di perkotaan.
Namun
berlawanan dengan ‘kebijakan tutup pintu’ tersebut, kota-kota di
seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang, menyaksikan sektor
informal pekotaan terus tumbuh dan berjuang untuk mempertahankan
keberadaan mereka. Pedagang kaki lima terutama merupakan sektor informal
yang berada pada garis depan ‘pertempuran’ dengan pemerintah. Hal ini
disebabkan karena keberadaan mereka lebih terlihat secara kasat mata
dibandingkan dengan jenis-jenis pekerjaan lain di sektor informal
(misalnya pembantu rumah tangga atau industri rumahan), karena pelaku
PKL ini melakukan kegiatannya di tempat umum seperti trotoar dan taman
kota. Di berbagai kota, dari Tanzania di Afrika sampai Jakarta di
Indonesia sampai Mexico City di Mexico, di tengah-tengah upaya
penggusuran maupun relokasi paksa, para PKL ini melakukan perlawanan,
baik secara tersembunyi maupun secara terbuka, untuk dapat terus
bertahan dan melakukan usahanya.
Tidak
ada informasi angka yang pasti tentang berapa jumlah penduduk yang
mengalami penggusuran di kota-kota Indonesia. Akan tetapi berita-berita
tentang penggusuran kaki lima dan penduduk kawasan kumuh adalah berita
yang cukup umum menghiasi surat kabar di Indonesia. Sebuah laporan dari
lembaga internasional yang khusus menangani persoalan penggusuran dan
perumahan perkotaan, COHRE, mencatat bahwa pada periode 2003-2006, di
Jakarta saja tercatat 11 kasus penggusuran yang menimpa puluhan ribu
orang (Center on Housing Rights and Eviction 2007). Tampaknya bagi
kebanyakan pemerintah kota, hanya ada satu jalan (resmi) untuk menangani
persoalan sektor informal dan kampung kumuh yang sudah muncul di
perkotaan: gusur.
Meskipun
demikian, baik para pelaku sektor informal dan penghuni kawasan kumuh
tersebut melakukan perlawanan terhadap upaya-upaya penggusuran yang
dilakukan pemerintah. Upaya tersebut dilakukan baik melalui perlawanan
dan konflik terbuka maupun upaya secara tersembunyi. Sejumlah penelitian
telah melihat barbagai bentuk resistensi warga miskin kota ini dalam
menghadapi penggusuran: melalui strategi ‘ketidakpatuhan’
(noncompliance) (Tripp 1997), mengambil keuntungan dari kelemahan
negara, membangun strategi individu maupun kolektif untuk menghadapi
ancaman penggusuran(Clark 1988). Meskipun demikian penelitian-penelitan
tersebut umumnya sepakat bahwa penggusuran merupakan solusi jangka
pendek dan tidak akan efektif untuk menghapuskan sektor informal mupun
pemukiman kumuh di perkotaan.
Sejumlah
pemerintah kota menyadari hal tersebut dan mencoba pendekatan lain
dalam menangani sektor informal dan kawasan pemukiman kumuh di
perkotaan. Cara ini misalnya ditempuh dengan melibatkan mereka dalam
perencanaan kota. Misalnya di Durban, Afrika Selatan, Lund dan Skinner
(2004) mencatat bahwa pemerintah kota telah mencoba untuk melibatkan
sektor informal dalam perencanaan dan penataan kota.
Menurut
pengamatan Penulis, pedagang kaki lima pun muncul di kota-kota besar di
negara maju. Di sudut-sudut jalan kota New York, terdapat tenda-tenda
yang menjual berbagai barang, mulai dari tas, sepatu, suvenir t-shirt,
buah, ataupun koran dan majalah. Di stasiun-stasiun kereta bawah tanah
pun terdapat beragam penyanyi jalanan dan sejumlah orang menggelar
dagangannya berupa majalah bekas, hanya seharga US$1 untuk dibaca oleh
penumpang kereta. Barangkali di stasiun berikutnya, majalah tersebut
akan dibuang lagi untuk dipungut oleh pedagang majalah bekas lainnya.
Di kota Melbourne, tiap orang bisa mendaftarkan diri untuk mendapatkan
izin mengamen di jalan selama 12 bulan. Kehadiran para pedagang dan
musisi jalanan ini justru terlihat menambah semaraknya pusat-pusat kota.
Barangkali satu hal yang membedakan para pedagang kaki lima di
kota-kota ini dengan kota Jakarta misalnya adalah tenda yang lebih rapi
dan trotoar yang cukup lebar, sehingga baik pedagang kaki lima dan
pejalan kaki dapat bersama-sama memanfaatkan trotoar tersebut.
Penggusuran Kawasan Kumuh dan Sektor Informal: Kota untuk Siapa?
Meskipun
pentingnya peranan sektor informal dalam penyerapan tenaga kerja ini
diakui, kenyataannya tindakan pemerintah kota tampaknya bertentangan
dengan pengakuan akan pentingnya peranan sektor ini. Demikian pula
perencana kota masih memandang secara ambigu terhadap sektor ini. Bagi
kebanyakan perencana dan penentu kebijakan kota, pelaku sektor informal,
terutama PKL, dan kawasan kumuh perkotaan, adalah gangguan terhadap
keindahan dan keteraturan kota. Pandangan modernis ini justru sering
sejalan dengan pandangan golongan masyarakat atas dan menengah. Hal ini
ditunjukkan misalnya ketika Gubernur Tjokropanolo melonggarkan peraturan
terhadap PKL di Jakarta pada tahun 1970-an, kebijakan ini ditangapi
secara negatif oleh kelas menengah Jakarta yang mempunyai kendaraan
sendiri. Kalangan ini membandingkan era kebijakan Gubernur Tjokropanolo
dengan kebijakan Gubernur Ali Sadikin sebagai era yang lebih disiplin,
bersih, dan terorganisir (Jellinek and Asian Studies Association of
Australia. 1991). Karena PKL ini umumnya berasal dari luar kota yang
bersangkutan, mereka sering dianggap tidak mempunya rasa memiliki
terhadap keindahan maupun kebersihan kota (Urban and Regional
Development Institute n.a). Di Durban, Afrika Selatan, Popke dan Ballard
(2004) menyebutkan bahwa bertambahnya jumlah pedagang kakli lima di
jalanan Durban meningkatkan kecemasan dan kekuatiran warga kota,
terutama dari kalangan warga kulit putih, karena kehadiran mereka
dipandang merusak citra kota Eurosentris yang teratur dan indah.
Pandangan-pandangan semacam itu, yang dipegang oleh pemerintah dan
perencana kota maupun warga kota yang lain, menimbulkan kesean bahwa
pedagang kaki lima tidak dianggap sebagai bagian dari sebuah kota.
Barangkali
perlu saatnya para perencana dan penentu kebijakan kota memikirkan
alternatif-alternatif lain dalam memandang persoalan PKL dan kawasan
kumuh ini. Pandangan alternatif ini antara lain seperti yang
diungkapkan oleh Sandercock (1998) bahwa perencanaan kota seharusnya
dapat mengenali suara kelompok-kelompok yang berbeda di dalam
masyarakat. Kita dapat berspekulasi bahwa pemecahan akar persoalan
tumbuhnya kawasan kumuh dan pedagang kaki lima terletak di pedesaan (dan
dengan demikian kebijakan tutup pintu diberlakukan supaya orang-orang
tidak bermigrasi dari desa ke kota), akan tetapi tetap penting untuk
mengenali bahwa kota adalah milik kelompok masyarakat yang berbeda-beda.
Pelaku sektor informal, termasuk PKL, adalah bagian yang tak
terpisahkan dari sebuah kota.
REFERENSI Brinkhoff, T. (2008). "Province of Indonesia and urban population of municipalities that exceeds 50,000." Retrieved 31 January 2008, from http://www.citypopulation.de/Indonesia.html. Center on Housing Rights and Eviction (2007). Global Survey on Eviction 10. Clark, G. (1988). Traders versus the state : anthropological approaches to unofficial economies. Boulder, Westview Press. Davis, M. (2004). "Planet of slums: urban involution and the informal proletariat." New Left Review 26: 5-34. Jellinek, L. and Asian Studies Association of Australia. (1991). The wheel of fortune : the history of a poor community in Jakarta. Sydney, Asian Studies Association of Australia in association with Allen and Unwin. Kuntjoro-Jakti, D., Ed. (1986). Kemiskinan di Indonesia. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. Lund, F. and C. Skinner (2004). "Integrating the informal economy in urban planning and governance: A case study of the process of policy development in Durban, South Africa." International Planning Development Review 26(4): 431-456. Popke, E. J. and R. Ballard (2004). "Dislocating modernity: Identity, space, and representations of street trade in Durban, South Africa." Geoforum 35(1): 99-110. Ramli, R. (1992). Sektor informal perkotaan : pedagang kakilima. Jakarta, Ind-Hill. Sandercock, L. (1998). Towards cosmopolis : planning for multicultural cities. New York, John Wiley. Tripp, A. M. (1997). "Changing the Rules: The Politics of Liberalization and the Urban Informal Economy in Tanzania." from http://texts.cdlib.org/xtf/view?docId=ft138nb0tj&query=&brand=ucpress Connect UN Habitat. (2008). "Statistical Overview." Retrieved 31, 2008, from http://www.unhabitat.org/categories.asp?catid=47. United Nations (2005). World Population Prospects: the 2005 Revisions Urban and Regional Development Institute (n.a). An Assessment Report of the Indonesian situation of public-partnership and the informal economy Jakarta, Urban and Regional Development Institute. Wimberley, R. and M. Kulinowski. (2007). "May 23: World population becomes more urban than rural " Retrieved 31 January, 2008, from http://news.ncsu.edu/releases/2007/may/104.html. akatiga.org |